Sabtu, 21 November 2009

AKHLAK DALAM KELUARGA

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya jualah kami dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “Akhlak Dalam Keluarga” tepat pada waktunya. Shalawat dan salam selalu tercurah keharibaan junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW, beserta sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam proses pembuiatan makalah ini, baik moril maupun materiil. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.


AKHLAQ DALAM KELUARGA

Nabi s.a.w.bersabda yang maksudnya:
"Sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan budipekerti yang mulia."(H.R.Ahmad)
Akhlak ataupun budipekerti memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Akhlak yang baik akan membedakan antara manusia dengan hewan. Manusia yang berakhlak mulia, dapat menjaga kemuliaan dan kesucian jiwanya, dapat mengalahkan tekanan hawa nafsu syahwat syaitoniah, berpegang teguh kepada sendi-sendi keutamaan. Menghindarkan diri dari sifat-sifat kecurangan, kerakusan dan kezaliman. Manusia yang berakhlak mulia, suka tolong menolong sesama insan dan makhluk lainnya. Mereka senang berkorban untuk kepentingan ersama.Yang kecil hormat kepada yang tua,yang tua kasih kepada yang kecil.Manusia yang memiliki budi pekerti yang mulia, senang kepada kebenaran dan keadilan, toleransi, mematuhi janji, lapang dada dan tenang dalam menghadapi segala halangan dan rintangan.
Akhlak yang baik akan mengangkat manusia ke darjat yang tinggi dan mulia. Akhlak yang buruk akan membinasakan seseorang insan dan juga akan membinasakan ummat manusia. Manusia yang mempunyai akhlak yang buruk senang melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Senang melakukan kekacauan, senang melakukan perbuatan yang tercela, yang akan membinasakan diri dan masyarakat seluruhnya. Nabi s.a.w.bersabda yang bermaksud:
"Orang Mukmin yang paling sempurna imannya, ialah yang paling baik akhlaknya."(H.R.Ahmad)
Manusia yang paling baik akhlaknya ialah junjungan kita Nabi
s.a.w. sehingga budi pekerti beliau tercantum dalam al-Quran, Allah
berfirman yang maksudnya: "Sesungguhnya engkau (Muhammad), benar-benar berbudi pekerti yang agung. "Sesuatu Ummat bagaimanapun hebat Kekuatan dan Kekayaan yang dimilikinya, akan tetapi jika budi pekertinya telah binasa, maka Ummat itu akan mudah binasa. Manusia yang tidak punya akhlak, mereka sanggup melakukan apa saja untuk kepentingan dirinya. Mereka sanggup berbohong, membuat fitnah, menjual marwah diri dan keluarga, malah dengan tidak segan silu lagi dia menjual Agama dan Negaranya.
Akhlak Pergaulan Baik Dalam Berbicara, Pergaulan Dan Bergaul Dalam Suami Isteri
Akhlak Pergaulan Dalam Berbicara
Akhlak pergaulan dalam berbicara ialah tingkah laku serta tutur kata yang halus. Setiap muslim hendaklah menjaga adab sopan yang telah ditetapkan supaya kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat dapat dijaminkan.
dapat membezakan di antara manusia dengan haiwan. Penyair arab ada berkata : “Ketinggian umat bergantung kepada ketinggian akhlak dan adab sopannya. Sebaliknya jika akhlak umat itu runtuh maka runtuhlah umat tersebut.”
Dalam kehidupan seorang muslim, ia perlu memelihara adab sopan, akhlak dan nilai-nilai murni, sama ada ketika berada di rumah, di sekolah, atau di mana-mana sahaja.
Di rumah, kita merupakan anak dan saudara kepada adik-beradik yang lain. Dalam keadaan ini kita hendaklah patuhdan hormat kepada ibu, ayah dan orang yang lebih tua daripada kita.
Akhlak Pergaulan Dalam Perbuatan
Tetapi apa yang berlaku di dalam sebuah keluarga, ada anak-anak yang tidak patuh dan hormat kepada ibu, ayah serta orang-orang yang lebih tua daripada mereka. Mereka berani melawan cakap ibu dan ayah ketika mereka memberi nasihat dan teguran yang membina.
Sedarkah anda bahawa perbuatan tersebut merupakan perbuatan menderhakai ibu bapa ? Apakah akibat dan kesannya kepada orang yang menderhakai ibu bapa ? Begitu juga ketika bersama-sama dengan adik-beradik yang lain. Kadang-kadang kita bertengkar dan bercakap dengan suara yang tinggi tanpa merasa malu kepada ayah dan ibu serta jiran. KIta tidak menghiraukan lagi adab sopan dan hak orang lain.
Manakala di sekolah pula, kita sentiasa berhadapan dengan guru-guru serta rakan-rakan. Guru telah banyak mengajar, mendidik dan membimbing kita ke arah kejayaan. Mereka sepatutnya dihormati dan disayangi oleh setiap pelajar.
Tetapi hari ini, apa yang berlaku ? Ada sesetengah pelajar yang tidak menghormati guru. Mereka menjadi sombong, mereka berani melawan cakap guru, menyakiti hati dan memukul guru.
Tingkah laku mereka ini bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan nilai kemaanusiaan. Akibatnya ilmu yang mereka perolehi tidak mendapat berkat. Lantaran mereka menjadi pelajar yang rugi, gagal menghadapi peperiksaan.
Justeru itu, sekiranya mereka tidak mengubah sikap dan tingkah laku tersebut, PERCAYALAH !! Mereka akan menjadi pelajar yang bermasalah di sepanjang persekolahan. Mereka akan disisih daripada rakan-rakan serta dikenakan tindakan disiplin seperti dirotan atau dibuang sekolah.
Akhlah Dalam Pergaulan, Bergaul Dalam Suami Isteri
Tuturan di atas hendak memberikan gambaran kepada pembaca tentang indahnya rumah tangga seorang muslim yang memerhatikan akhlak mulia dalam pergaulan suami istri, sebagaimana rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga perhatian terhadap kemuliaan akhlak ini menjadi satu keharusan bagi seorang suami maupun seorang istri. Karena terkadang ada orang yang bisa bersopan santun, berwajah cerah dan bertutur manis kepada orang lain di luar rumahnya, namun hal yang sama sulit ia lakukan di dalam rumah tangganya. Ada orang yang bisa bersikap pemurah kepada orang lain, ringan tangan dalam membantu, suka memaafkan dan berlapang dada, namun giliran berhadapan dengan “orang rumah”, istri ataupun anaknya, sikap seperti itu tak tampak pada dirinya.

Menyinggung akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarganya maka hal ini tidak hanya berlaku kepada para suami, sehingga para istri merasa suami sajalah yang tertuntut untuk berakhlak mulia kepada istrinya. Sama sekali tidak dapat dipahami seperti itu. Karena akhlak mulia ini harus ada pada suami dan istri sehingga bahtera rumah tangga dapat berlayar di atas kebaikan. Memang suamilah yang paling utama harus menunjukkan budi pekerti yang baik dalam rumah tangganya karena dia sebagai qawwam, sebagai pimpinan. Kemudian dia tertuntut untuk mendidik anak istrinya di atas kebaikan sebagai upaya menjaga mereka dari api neraka sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

Seorang istri pun harus memerhatikan perilakunya kepada sang suami, sebagai pemimpin hidupnya. Tak pantas ia “menyuguhi” suaminya ucapan yang kasar, sikap membangkang, membantah dan mengumpat. Tak semestinya ia tinggi hati terhadap suaminya, dari mana pun keturunannya, seberapa pun kekayaannya dan setinggi apa pun kedudukannya. Tak boleh pula ia melecehkan keluarga suaminya, menyakiti orang tua suami, menekan suami agar tidak memberikan nafkah kepada orang tua dan keluarganya.
Kenyataannya, banyak kita dapati istri yang berani kepada suaminya. Tak segan saling berbantah dengan suami, bahkan adu fisik. Ia tak merasa berdosa ketika membangkang pada perintah suami dan tidak menuruti kehendak suami. Ia merasa tenang-tenang saja ketika hak suami ia abaikan. Ia menganggap biasa perbuatan menyakiti mertua. Ia tekan suaminya agar tidak memberi infak pada keluarganya. Ia mengumpat, ia mencela, ia menyakiti… Istri yang seperti ini gambarannya jelas bukan istri yang berakhlak mulia dan bukanlah istri shalihah yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan5 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita/istri shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)
Dan bukan istri yang digambarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhuma:

“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan (harta yang disimpan) seorang lelaki, yaitu istri shalihah, yang bila dipandang akan menyenangkannya6, bila diperintah7 akan menaatinya8 dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga harta dan keluarganya.” (HR. Abu Dawud. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu menshahihkannya di atas syarat Muslim dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang perlu memberi kabar gembira kepada para sahabatnya tentang perbendaharaan harta mereka yang terbaik, di mana harta ini lebih baik dan lebih kekal yaitu istri yang shalihah, yang cantik lahir batin. Karena istri yang seperti ini akan selalu menyertai suaminya. Bila dipandang suaminya, ia akan menyenangkannya. Ia tunaikan kebutuhan suaminya bila suami membutuhkannya. Ia dapat diajak bermusyawarah dalam perkara suaminya dan ia akan menjaga rahasia suaminya. Bantuannya kepada suami selalu diberikan, ia menaati perintah suami. Bila suami sedang bepergian meninggalkan rumah, ia akan menjaga dirinya, harta suaminya, dan anak-anaknya. (‘Aunul Ma’bud, 5/57)

Oleh karena itu, wahai para istri, perhatikanlah akhlak kepada suami dan kerabatnya. Ketahuilah, akhlak yang baik itu berat dalam timbangan nanti di hari penghisaban dan akan memasukkan pemiliknya ke dalam surga, sebagaimana dikabarkan dalam hadits berikut ini. Abud Darda` z mengabarkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin kelak di hari kiamat daripada budi pekerti yang baik. Dan sungguh Allah membenci orang yang suka berkata keji, berucap kotor/jelek.” (HR. At-Tirmidzi no. 2002, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 876)
Bagi para suami hendaknya pula memerhatikan pergaulan dengan istrinya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istrinya mendengarkan dendangan tersebut karena hari itu bertepatan dengan hari raya (Id). Sementara pada hari raya diperkenankan bagi kaum muslimin untuk menampakkan kegembiraan, bahkan hal ini termasuk syiar agama, selama dalam koridor syariat tentunya. Dan hadits ini bukanlah dalil untuk menyatakan bolehnya bernyanyi dan mendengarkan nyanyian baik dengan alat ataupun tanpa alat, sebagaimana anggapan kelompok Sufi. (Lihat penjelasannya dalam Fathul Bari, 2/570-571)

Ketauladan Ibu Dan Bapak Yang Wajib Ditunjukkan Kepada Anak
Hubungan orang tua sesama anak sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa anak. Hubungan yang serasi, penuh pengertian dan kasih sayang akan membawa anak kepada pembinaan pribadi yang tenang, terbuka dan mudah dididik, karena anak mempunyai kesempatan yang baik untuk tumbuh berkembang.

Hubungan yang sangat erat yang terjadi dalam pergaulan sehari-hari antara orang tua dan anak merupakan hubungan berarti yang diikat pula oleh adanya tanggung jawab yang benar sehingga sangat memungkinkan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan atas dasar rasa cinta kasih sayang yang murni, rasa cinta kasih sayang orang tua terhadap anaknya
Tetapi hubungan orang tua yang tidak serasi, banyak perselisihan dan percekcokan akan membawa anak kepada pertumbuhan pribadi dan tidak dibentuk, karena anak tidak mendapat suasana yang baik untuk berkembang, sebab selalu terganggu oleh suasana orang tuanya. Dan banyak lagi faktor-faktor tidak langsung dalam keluarga yang mempengaruhi pembinaan pribadi anak. Di samping itu, banyak pula pengalaman-pengalaman yang mempunyai nilai pendidikan baginya, yaitu pembinaan-pembinaan tertentu yang dilakukan oleh orang terhadap anak, baik melalui latihan-latihan atau pembiasaan, semua itu merupakan unsur pembinaan pribadi anak.

Contoh Tauladan
Suatu sikap keteladanan dan perbuatan yang baik dan positif yang dilaksanakan oleh orang tua sangat diperlukan. Hal ini merupakan proses pendisiplinan diri anak sejak dini, agar anak kelas terbiasa berbuat baik sesuai dengan aturan dan norma yang ditetapkan di masyarakat berdasarkan kaidah yang berlaku orang tua yang dapat memberi contoh tauladan yang baik kepada anak-anaknya adalah orang tua yang mampu dan dapat membimbing anak-anaknya ke jalan yang baik sesuai dengan yang diharapkan.

Pembentukan Sikap
Dalam pergaulan sehari-hari kata sikap sering kali digunakan dalam arti yang salah dan kurang tepat. Untuk lebih jelasnya Ngalim Purwanto (1997:140), mengemukakan definisi sikap ialah “Suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang” suatu kecenderungan untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap suatu perangsang atau situasi yang dihadapi.
Untuk mengetahui sejauhmana peranan sikap orang tua terhadap anak, maka akan diperinci setiap sikap serta akibatnya yang dapat dilihat dari sifat-sifat kepribadian yang terbentuk, yaitu:
1) Sikap Terlalu Menyayangi Dan Melindungi Serta Memanjakan
Orang tua terlampau cemas terhadap oleh karena itu Berhati-hati sekali mendidik anaknya dan senantiasa menjaga agar anaknya terhindar dari bahaya. Sikap melindungi dan menyayangi anak terlalu berlebihan serta cenderung mengerjakan apa saja untuk anaknya, akibatnya anak tidak dapat kesempatan untuk belajar berbuat sendiri, mengambil keputusan, anak sangat tergantung kepada orang tuanya sulit untuk menyesuaikan diri, bersifat ragu-ragu.
2) Sikap Otoriter
Sikap ini menggambarkan pengawasan yang keras dari orang tua terhadap anak-anaknya, banyak larangan, semua perintah harus dilaksanakan tanpa ada pengertian kepada anak. Akibatnya anak menjadi tidak taat bahkan anak melawan terang-terangan atau pura-pura taat, menjadi pasif, kurang inisiatif, bersifat menunggu (perintah), kemampuan untuk merencanakan sesuatu, tidak dapat mengambil keputusan sendiri, akan mudah cemas dan putus asa.
3) Sikap Demokratis
Sikap ini dapat digambarkan sebagai sikap orang tua yang senantiasa berembuk dengan anaknya mengenai tindakan-tindakan yang harus diambil, menerangkan alasan-alasan peraturan-peraturan memberi kesempatan pada anak untuk berpartisipasi, berinisiatif menghargai pendapat anak-anaknya, menanggapi pertanyaan-pertanyaan anak-anaknya, membimbing anak-anak ke arah penyadaran akan menjadi hal dan kewajiban dan bersikap toleran. Dari sikap demokratis ini akan menimbulkan kemampuan berinisiatif.


Birrul Walidain
Birrul Wlidain terdiri dari kata birru dan al-walidain. Birru artinya kebajikan. Al-walidain artinya dua orang tua atau ibu dan bapak. Birrul Walidain merupakan suatu istilah yang berasal langsung dari Nabi Muhammad saw, yang berarti berbuat kebajikan kepada kedua orang tua. Semakna dengan birrul walidain, Al-Qur’an Al-Karim menggunakan istilah ihsan (wa bi al-walidaini ihsana), seperti yang terdapat dalam firman Allah SWT berikut ini:




“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaikbaiknya...”(QS. Al-Isra’ 23)

Allah SWT mewasiatkan kepada umat manusia untuk berbuat ihsan kepada kedua orang tua kita, Allah SWT berfirman:





“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibubapaknya…”(QS. Al-Ankabut 8)

Allah SWT juga meletakan perintah berterima kasih kepada kedua orang tua langsung sesudah perintah berterima kasih kepada Allah SWT. Allah berfirman:









“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”(QS. Luqman 14)

Rasulullah juga mengaitkan bahwa keridhaan dan kemarahan Allah SWT berhubungan dengan keridhaan dan kemarahan kedua orang tua. Rasulullah bersabda:
“Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua, dan kemarahan Rabb (Allah) ada pada kemarahan orang tua.”(HR. Tirmidzi)

Bentuk-bentuk Birrul Waldain
1. Mengikuti keinginan dan saran orang tua.
Seorang anak wajib mengikuti segala keinginan kedua orang tua, dengan catatan keinginan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Agama Islam. Allah berfirman :



“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik…”(QS. Luqman 15)

Juga sesuai dengan sabda dari Rasulullah,
“Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah SWT, ketaatan hanyalah semata dalam hal yang ma’ruf.”(HR. Muslim)

2. Menghormati dan Memuliakan kedua orang tua
Banyak cara yang bisa dilakukan seorang anak untuk menunjukkan rasa hormat kepada kedua orang tua, antara lain memanggilnya dengan panggilan yang menunjukan rasa hormat, berbicara kepadanya lemah lembut, tidak mengucapkan kata-kata yang kasar, pamit jika ingin keluar rumah(bila tinggal serumah), dan lain sebagainya. Allah berfirman :







“…Jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia”(QS. Al-Isra 23)

3. Membantu kedua orang tua secara fisik dan materiil.
Seseorang dapat membantu kedua orang tua baik sebelum berkeluarga dan belum berpenghasilan maupun apabila anak tersebut sudah berkeluarga dan berpenghasilan. Misalnya, jika seorang anak belum berpenghasilan dapat membantu dengan cara fisik atau tenaga dan atau yang lain. Sedangkan bila anak sudah berpenghasilan dapat membantu secara materi dan atau yang lainnya.
Rasulullah bersabda :
“Siapakah yang paling berhak aku Bantu dengan sebaik-baiknya?jawab Nabi;”ibumu”. Kemudian siapa; jawab Nabi; “ibumu”. Lalu siapa lagi?jawab Nabi;”bapakmu.”(HR. Bukhari dan Muslim)

4. Mendo’akan kedua orang tua
Seorang anak yang berbakti adalah anak yang selalu mendo’akan kedua orang tua baik selama mereka masih hidup walaupun mereka telah menghadap sang Khaliq. Allah berfirman :




“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".(QS. Al-Isra’ 24)

Demikianlah Allah SWT dan Rasul-Nya menempatkan orang tua pada posisi yang sangat istimewa sehingga berbuat baik kepada keduanya menempati posisi yang sangat mulia, dan sebaliknya durhaka kepada salah satu atau keduanya juga menempati posisi yang sangat hina. Secara khusus Allah mengingatkan betapa besar jasa dan perjuangan seorang ibu dalam mengandung, menyusui, merawat, dan mendidik anaknya. Kemudian bapak walaupun tidak ikut mengandung, tetapi dia berperan besar dalam mencari nafkah, membimbing, melindungi, membesarkan, dan mendidik anaknya hingga mampu berdiri sendiri, bahkan sampai waktu yang tidak terbatas.
Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah wajar apabila seorang anak menghormati dan menyanyangi kedua orang tua setelah cintanya kepada Allah SWT.

Senin, 06 April 2009

POLA PENDIDIKAN ISLAM

PADA PERIODE DINASTI UMAYYAH

  1. Pendahuluan

Pendidikan Islam merupakan suatu hal yang paling utama bagi warga suatu negara, karena maju dan keterbelakangan suatu negara akan ditentukan oleh tinggi dan rendahnya tingkat Pendidikan warga negaranya. Salah satu bentuk Pendidikan yang mengacu kepada pembangunan tersebut yaitu Pendidikan agama adalah modal dasar yang merupakan tenaga penggerak yang tidak ternilai harganya bagi pengisian aspirasi bangsa, karena dengan terselenggaranya Pendidikan agama secara baik akan membawa dampak terhadap pemahaman dan pengamalan ajaran agama.

Pendidikan Islam bersumber kepada al-Quran dan Hadis adalah untuk membentuk manusia yang seutuhnya yakni manusia yang beriman dan bertagwa terhadap Allah Swt, dan untuk memelihara nilai-nilai kehidupan sesama manusia agar dapat menjalankan seluruh kehidupannya , sebagaimana yang telah ditentukan Allah dan Rasul-Nya, demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. atau dengan kata lain , untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya, yaitu memanusiakan manusia ,supaya sesuai dengan kehendak Allah yang menciptakan sebagai hamba dan khalifah di muka bumi.

Sejarah Pendidikan Islam pada hakekatnya sangat berkaitan erat dengan sejarah Islam. Periodesasi Pendidikan Islam selalu berada dalam periode sejarah Islam itu sendiri. Secara garis besarnya Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode Yaitu periode Klasik, Pertengahan dan Modern. Kemudian perinciannya dapat dibagi lima periode, yaitu: periode Nabi Muhammad SAW (571-632 M), periode Khulafa ar Rasyidin (632-661 M), periode kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M), periode kekuasaan Abbasiyah (750-1250 M) dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250-sekarang).1

Pendidikan Islam di zaman Nabi Muhammad SAW merupakan periode pembinaan Pendidikan Islam, dengan cara membudayakan Pendidikan Islam dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Setelah itu dilanjutkan pada periode Khulafar ar Rasyidin dan Dinasti Umayyah yang merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuaan yang ditandai dengan berkembangnya ilmu-ilmu Naqliah dan’Aqliah

Makalah yang sederhana ini penulis mencoba untuk menggambarkan tentang pola Pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah.

  1. Dinasti Umayyah

Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Muawwiyah Ibn Abi Sofyan adalah pendiri Dinasti Umayyah yang berasal dari suku Quraisy keturunan Bani Umayyah yang merupakan khalifah pertama dari tahun 661-750 M, nama lengkapnya ialah Muawwiyah bin Abi Harb bin Umayyah bin Abdi Syam bin Manaf.2

Setelah Muawwiyah diangkat jadi khalifah ia menukar system pemerintahan dari Theo Demikrasi menjadi Monarci (Kerajaan/Dinasti) dan sekaligus memindahkan Ibu Kota Negara dari Kota Madinah ke Kota Damaskus. Muawwiyah lahir 4 tahun menjelang Nabi Muhammad SAW menjalankan Dakwah Islam di Kota Makkah, ia beriman dalam usia muda dan ikut hijrah bersama Nabi ke Yastrib. Disamping itu termasuk salah seorang pencatat wahyu, dan ambil bagian dalam beberapa peperangan bersama Nabi.3

Pada masa khalifah Abu Bakar Siddiq dan Kalifah Umar ibn Khattab, Umayyah menjabat sebagai panglima pasukan dibawah pimpinan Ubaidah ibn Jarrah untuk wilayah Palestina, Suriah dan Mesir. Pada masa khalifah Usman ibn Affan ia diangkat menjadi Wali untuk wilayah Suriah yang berkedudukan di Damaskus. Pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib tahun 661 M diwarnai dengan krisis dan pertentangan yang sangat tajam di wilayah Islam dimana ditandai dengan perang Shuffin yang pada akhirnya Ali ibn Abi Thalib mati terbunuh sewaktu shalat shubuh di Mesjid Nabawi Madinah.4

Sepeninggal Ali ibn Abi Thalib tahun 661 M sebagian umat Islam di Iraq memilih dan mengangkat Hasan ibn Ali ibn Thalib menjadi Khalifah. Akan tetapi Hasan adalah orang yang taat, bersikap damai serta tidak tega dengan perpecahan dalam Islam. Akhirnya diadakanlah serah terima kekuasaan di Kota Khuffah. Dengan demikian dimulailah Dinasti Umayyah .

Dinasti Umayyaah perluasan daerah Islam sangat luas sampai ke timur dan barat. Begitu juga dengan daerah Selatan yang merupakan tambahan dari Daerah Islam di zaman Khulafa ar Rasyidin yaitu: Hijaz, Syiria, Iraq, Persia dan Mesir.

Seiring dengan itu Pendidikan pada priode Danasti Umayyah telah ada beberapa lembaga seperti: Kutub, Mesjid dan Majelis Sastra. Materi yang diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam. Metode pengajarannya pun tisak sama. Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuan dalam berbagai bidang tertentu.5

  1. Pola Pendidikan Islam Pada Priode Dinasti Umayyah

Pola Pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafa ar Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di mesjid-mesjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra. Jadi tempat Pendidikan pada periode periode Dinasti Umayyah adalah:

    1. Khuttab

Khuttab atau Maktab berasaal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis, jadi Khuttab adalah tempat belajar menulis. Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam

Adapun cara yang dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan Al Quran mereka juga belajar menulis dan tata bahasa serta tulisan. Perhatian mereka bukan tertumpu mengajarkan Al Quran semata dengan mengabaikan pelajaran yang lain, akan tetapi perhatian mereka pada pelajaran sangat pesat. Al Quran dipakai sebagai bahasa bacaan untuk belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk dipelajari. Disamping belajar menulis dan membaca murid-murid juga mempelajari tatabahasa Arab, cerita-cerita Nabi, hadist dan pokok agama.7

Kalau dilihat di dalam sejarah Pendidikan Islam pada awalnya dikenal dua bentuk Kuttab, yaitu:

    1. Kuttab berfungsi sebagai tempat Pendidikan yang memfokuskan pada tulis baca.
    2. Kuttab tempat Pendidikan yang mengajarkan Al Quran dan dasar-dasar keagamaan.

Peserta didik dalam Khutab adalah anak-anak, tidak dibatasi baik miskin ataupun kaya. Para guru tidak membedakan murid-murid mereka, bahkan ada sebagian anak miskin yang belajar di Khuttab memperoleh pakaian dan makanan secara cuma-cuma. Anak-anak perempuan pun memperoleh hak yang sama dengan anak-anak laki-laki dalam belajar. Namun tidak tertutup kemungkinan bagi orang yang mampu mendidik anak-anak mereka di tempat khusus yang mereka inginkan dengan guru-guru yang khusus pula seperti: Hajjad ibn Yusuf yang pernah menjadi guru bagi putra Sulaiman Nasuh seorang Menteri dari khalifah Abdul Malik ibn Marwan.

    1. Mesjid

Setelah pelajaran anak-anak di khutab selesai mereka melanjutkan Pendidikan ke tingkat menengah yang dilakukan di mesjid. Peranan Mesjid sebagai pusat Pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya tetap dan mampu untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan.

Pada Dinasti Umayyah, Mesjid merupakan tempat Pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah khuttab. Pelajaran yang diajarkan meliputi Al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh. Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan.12

Diantara jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Mesjid sebagai pusat aktifitas ilmiah termasuk sya’ir. Sejarah bangsa terdahulu diskusi dan akidah. Pada periode ini juga didirikan Mesjid ke seluruh pelosok daerah Islam. Mesjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerinath Walid ibn Abdul Malik 707-714 M yang merupakan Universitas terbesar dan juga didirikan Mesjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang.13

pada Dinasti Umayyah ini, mesjid sebagai tempat Pendidikan terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman dan keahliannya. Umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang, baik di Khuttab atau di Mesjid tingkat menengah. Sedangkan pada tingkat pelajaran yang diberikan oleh guru adalah dalam satu Halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama.

    1. Majelis Sastra

Majelis sastra merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dihiasi dengan hiasan yang indah, hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka. Menurut M. Al Athiyyah Al Abrasy “Balai-balai pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan seseorang yang masuk ketika khalifah hadir, mestilah berpakaian necis bersih dan rapi, duduk di tempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak, tidak meludah, tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya. Ia tidak boleh bersuara keras dan harus bertutur kata dengan sopan dan memberi kesempatan pada sipembicara menjelaskan pembicaraannya serta menghindari penggunaan kata kasar dan tawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan”.14

Hal diatas sesuai dengan wasiat Abdul Malik ibn Harman kepada pendidik puteranya dengan pesan “Ajarkan kepada mereka berkata benar disamping mengajarkan Al Quran. Jauhkanlah mereka dari orang-orang jahat yang tidak mengindahkan perintah Allah dan tidak berlaku sopan, dan jauhkan juga mereka chadam dan pekerjaannya karena bergaul dengan mereka akan dapat merusak moralnya. Gunakanlah perasaan mereka agar badannya kuat, dan serahkanlah mereka bersufi dan air dengan menghisabnya pelan-pelan dan jangan minum tidak senonoh bila memerlukan teguran hendaklah secara tertutup, jangan sampai diketahui oleh pelayan dan tamu agar mereka tidak dipandang rendah.15

Majelis sastra merupakan tempat berdiskusi membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik. Perhatian penguasa Ummayyah sangat besar pada pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan Syair-syair Arab dalam bidang syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa.16

Usaha yang tidak kalah pentingnya pada masa Dinasti Umayyah ini dimulainya penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam Bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid ibn Yazid ia memerintahkan beberapa sarjana Yunani da Qibti ke dalam Bahasa Arab tentang ilmu Kimia, Kedokteran dan Ilmu Falaq.17

Pada periode Dinasti Umayyah ini terkenal sibuk dengan pemberontakan dalam negeri dan sekaligus memperluas daerah kerajaan tidak terlalu banyak memusatkan perhatian pada perkembangan ilmiah, akan tetapi muncul beberapa ilmuwan terkemuka dalam berbagai cabang ilmu seperti yang dikemukana oleh Abd. Malik Ibn Juraid al Maki dan cerita peperangan serta syair dan Kitabah.18

Ilmu tafsir memiliki makna yang strategis, disamping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra arab, juga karena banyaknya yang masuk Islam. Hal ini menyebabkan pencemaran bahasa Al Quran dan makna Al Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Pencemaran Al Quran juga disebabkan oleh faktor intervensi yang didasarkan kepada kisah-kisah Israiliyyat. Tokohnya adalah Abd Malik ibn Juraid al Maki. Selain ilmu tafsir ilmu hadist juga mendapatkan perhatian serius. Pentingnya periwayatan hadist sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah maupun secara moral. Namun keberhasilan yang diraihnya adalah semangat untuk mencari hadist, sebelum mencapai tahap kodifikasi. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M pernah mengirim surat kepada Abu Bakar ibn Amir bin Ham dan kepada ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadist-hadist, namun hingga akhir pemerintahannya hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian pemerintahannya hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian pemerintahan Umar ibn Aziz telah melahirkan metode Pendidikan alternative, yakni para ulama mencari hadist ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal metode Rihlah.

Dibidang fiqh secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu aliran ahli al-Ra’y dan aliran al hadist, kelompok aliran pertama ini mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi atau Qiyas, sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada dalil-dalil, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat Al Quran dan hadits yang menerangkannya. Nampaknya disiplin ilmu fiqh menunjukkan perkembangan yang sangat berarti. Periode ini telah melahirkan sejumlah mujtahid fiqh. Terbukti ketika akhir masa Umayyah telah lahir tokoh mazhab yakni Imam Abu Hanifah di Irak dan Imam Malik Ibn Anas di Madinah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal lahir pada masa Abbasyiyah.19

Dibidang syair yang terkenal dikalangan orang Arab diantaranya adalah tentang pujian, syairnya adalah:

Artinya : “Engkau adalah pengendara kuda yang paling baik, engkau adalah orang yang pemurah di atas dunia ini

Periode Dinasti Umayyah pada bidang Pendidikan, adalah menekankan ciri ilmiah pada Mesjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini di Mesjid diajarkan beberapa macam ilmu, diantaranya syair, sastra dan ilmu lainnya. Dengan demikian periode antara permulaan abad ke dua hijrah sampai akhir abad ketiga hijrah merupakan zaman Pendidikan Mesjid yang paling cemerlang.

Nampaknya Pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan Pendidikan pada masa Khulafa ar Rasyiddin. Hanya saja memang ada sisi perbedaan perkembangannya. Perhatian para Khulafa dibidang Pendidikan agaknya kurang memperhatikan perkembangannya sehingga kurang maksimal, Pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan Pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir tidak ditemukan. Jadi sistem Pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan politis dan golonga.

Walaupun demikian pada periode Dinasti Umayyah ini dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata laksana dan seni bangunan. Pada umumnya gerakan penerjemahan ini terbatas keadaan orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid cucu dari Muawwiyah.

  1. Penutup

Pola Pendidikan pada periode Dinasti Umayyah melanjutkan Pendidikan semasa Khulafa ar Rasyiddin, walaupun ada sisi perbedaan dan perkembangan tersendiri. Perkembangan tempat-tempat perkembangan Pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah ada tiga macam yaitu:

    1. Kuttub
    2. Mesjid
    3. Masjelis Sastra

Disamping itu, pada periode Dinasti Umayyah juga telah melaksanakan Pendidikan dengan tingkat-tingkat sebagai berikut:

    1. Tingkat pertama
    2. Tingkat menengah
    3. Tingkat tinggi

Dimana kurikulumnya telah disesuaikan dengan tingkatannya masing-masing.

Karena makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu pemakalah minta saran dan kritikan dari saudara dan Bapak Dosen pembimbing demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasyi, Athiyyah, al-Tarbiyyah al-Islamiyah, Terj. Bustami A. Gani, Jakarta: Bulan Bintang, 1993

Chalil, Munawar, Empat Biografi Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1989

Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997

Fahmi, Asma Hasan, Mabadi’at Tarbiyah al-Islamiyah, diterj. Oleh Mukhtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta : Bulan Bintang, tth.

Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, Jakarta : Pustaka al-Husna, 1980

Nizar, Samsul, Sejarah Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, PT. Cuputat Press Group, 2005

Shalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam , Jakarta : Bulan Bintang, 1972

PENDAHULUAN

Syukur Alhamdulillah segala puji di persembahkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam terhadap Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membimbing kita sejalan yang benar.

Makalah ini diharapkan akan menghasilkan proses dan hasil pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan batas aspek kognitif saja, tetapi juga aspek efektif dan psikonomotorik. Ketiga aspek ini dihadapkan dapat menjadikan proses dan hasil belajar kita semakin meningkat.

Akhirnya, dengan terbitnya makalah ini diharapkan pembejalaran agama islam di lingkungan sekolah, semakin meningkat kinerja pembelajaran sehingga produktivitas dan efektifitas pendidikan semakin menonjol.

TASAWUF

A. PENGERTIAN TASAWUF

Ditinjau dari segi bahasa Tasawuf berasal dari beberapa kata yakni :

- Shafa (suci) ≈ disebut shafa karena kesucian dan kebersihan kaum sufi.

- Shaff (barisan) ≈ karena kaum sufi mempunyai iman yang kuat jiwa yang bersihm ikhlas dan senantiasa memilih barisan terdepan dalam sholat berjamaa’ah.

- Shuffah (serambi) ≈ yakni serambi mesjid nabawi di madinah yang disediakan untuk orang-orang yang belum mempunyai tempat tinggal.

Pengertian di atas adalah pendapat para ahli dalam mengkaji pengertian tasawuf sehingga para ahli susi yaitu mereka yang menjalankan tasawuf tidak sepakat dalam pengertiannya. Beberapa pengertian yang berkembang dan sering di pakat sebagai acuan berasal dari Al- Junaid, Al- Bughdadi, Wpu tasawuf moderator, ia mendefenisikan tasawuf sebagai lecenderaan bersama Allah SWT tanpa adanya penghubung (tasawuf berarti membersihkan hati dari sifat yang mengenai binatang, menjauhi hawa nafsu, berpegang pada ilmu kebenaran memberi nasihat kepada ummat, menepati janji kepada Allah SWT, dan mengikuti syariah Rasullah SAW).

Dan tasawuf sebagai sebuah ilmu menurut Muhammad dari Al Leurdy yaitu tasawuf sebagai ilmu yang dapat diketahui hal- hal yang terkait dengan baik dan buruknya jiwa. Cara melakukan suluk dan melangkah menuju keindahan yang diperintahnya.

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan diatas Zakaria AL- Ansori. Seorang penulis tasawuf meringkas tasawuf sebagai cara mensyucikan dari meningkatkan akhlak, membangun kehidupan jasmani dan rohani, unsur utama tasawuf adalah pensucian diri dan menuju kebahagian dan keselamatan.

Darfi ke-2 kategori pemahaman diatas wasyumi menyimpulkan bahwa tasawuf adalah kesadaran murni yang menyerahkan jiwa secara benar kepada amal dan aktivitas yang bersungguh- sungguh dan menjauhkan diri dari keduniaan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT untuk mendapatkan perasaan dalam berhubungan dengannya.

B. ASAL- USUL TASAWUF

Bermacam- macam pendapat atau teori tentang asal kata tasawuf. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata “skata” yang berarti bersih : karena tujuan sufi adalah memberishkan jiwanya.

Ada pula ynag mengambil istilah tasawuf dari perkataan “shuffah” atau “Shuffah masjid” yang artinya serambi masjid. Istilah ini dihubungkan dengan suatu tempat di Masjid Nabi yang didiami orang seklompok para sahabat Nabi yang sangat fawir dan tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka dikenal sebagai :” Akhlus shuffah”. Meraka adalah orang yang menyediakan seluruh waktunya untuk berjihad dan berda’wah serta meninggalkan usaha- usaha yang bersifat duniawi.

Mengenai teori yang ke- 2 tersebut diatas, Suhrawardi mengatakan bahwa mereka yang tergolong ahlus suffah itu biasa berkumpul di Masjid Madinah, seperti halnya seorang sufi berkumpul di Zawiyah atau Ribath. Mereka tidak tergerak untuk berusaha mencari nafuah dan keputuhan hidup . mereka sering ditolong orang Rasulullah.

Tirji zaidan berkeyakinan bahwa ada hubungan antara kata Arab “Atta Shopu” yang kata yunani “Shofia” yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian “Asshopiyahtu” diartikan kebijaksanaan. Alas an yang dikemukakan olehnya ialah bahwa ilmu tashawuf secara tersendiri (sebagai ilmu) baru dikenal setelah masa peterjemahan kitab- kitab yunani ke dalam bahasa Arab. Hal ini sama dengan masukannya kata filsafah ke dalam bahasa Arab.

Dr. Ibrahim Basyuni memberikan komentar terhadap teori diatas, bahwa transliterasi yunani ke Arab tidak tepat, karena hurf signa yunani disamakan dengan huruf Sin, bukan dengan huruf Shad. Jadi kata “Shifi” asalnya diambil dari kata yunani, maka mencatumkan huruf awal. Pada kalimat atau kata “Assupu” tidak sesuai dengan ketentuan.

C. ISTILAH- ISTILAH DALAM TASAWUF

1. Shafa (sua) disebut shafa (suci) karena kesucian batin sufi dan kebersihan tindakannya.

2. Shaff ( barisan) karena para sufi mempunyai iman kuat, jiwa bersih dan senantiasa memilih barisan terdepan dalam shalat berjamaah.

3. Saufanah yakni sejenis buah- buahan kecil berbulu, yang banyak tumbuh dipadang pasir jazirah Arabiah. Nama ini digunakan karena banyak sufi memakai pakaian berbulu yang terbuat dari domba kasar.

4. Shuffah (serambi tempat duduk) yakni Shuffah masjid Nabawi di Madinah yang disediakan bagi para tuna wisma dari kalangan Muhajirin di masa Rasulullah SAW. Para tuna wisma tersebut biasa dipanggil ahli shuffah (pemilik serambi) karena serambi masjid itulah mereka bernaung.

5. Shafwah (yang terpilih atau terbaik) sufi adalah orang yang terpilih diantara hampa Allah SWT, karena ketulusan amal mereka kepadanya.

6. Theosophi (yunani : theo = tuhan shopos = hikmah) yang berarti hikmah/ kearifan ketuhanan.

7. Shuf (bulu domba) karena para sufi biasa memakai pakaian dari bulu domba yang kasar. Sebagai lambang kerendahan hati, untuk menghadiri sikap sombong disamping untuk menerangkan jiwa, serta meninggalkan usaha- usaha yang bersifat duniawi.

D. FUNGSI DAN PERANAN TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MODERN

a. Karakteristik Tasawuf

Tasawuf diartikan sebagai pengalaman mistik. Para tokoh sufi yang menonjol dalam pengalaman rohani tertentu, seperti

1.Zuhud

~ Orang yang zuhud lebih mengutamakan kebahagiaan hidup diakhirat & dunia.

Tokoh zuhud yang terkenal antara lain :

- Sa’id bin Musayyap

- Hasan Basri

- Sufyan Hts Tsaury

- Ibrahim bin Adham

2. Mahabbah

~ Bagi rabiah zuhud harus dilandasi dengan mahabbah .

3. Fana & baga

~ adalah hilangnya sifat- sifat yang tercela dan timbulnya sifat terpuji.

4. Ittihad

~ adalah pengalaman batin akan kesatuan seorang sufi.

5. Hulul

~ Yaitu bertempatnya sifat ketuhanan kepada sifat kemanusiaan .

6. Wahdatul wujud

~ wadah penampakan diri dari nama dan sifat- sifat Allah dalam wujud terbatas.

Pengalaman tasawuf merupakan suatu kondisi yang cepat sirna.

- Abul wafa Ar- Shanimi dosen filsafat mengemukakan bahwa tasawuf memiliki nilai- nilai norma yang tujuannya membersihkan jiwa yang fisik- psifis.

- Abu Arabi mengatakan bahwa pengetahuan dalam tasawuf bersifat pasti dan berkeyakinan bukan bersifat spekulatif.

- Taswuf merupakan visi langsung terhadap sesuatu bukan melalui dalil.

Beberapa obyekdan sasaran tasawuf, dibagi menjadi 3, yaitu :

1. Tasawuf Akhladi

~ tasawuf yang menekankan nilai etis.

2. Tasawuf Amali

~ tasawuf yanglebih mengutamakan kebiasaan beribadah, tujuannya agar mengahayati spiritual dalam beibadah.

3. Taswuf Falsafi

~ menekankan masalah- masalah yang metalistik.

b. Pentingnya Tasawuf

pada masa yang akan datang tampaknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta industrialisasi akan berlangsung terus dan sangat menentukan peradaban umat manusia. Namun demikian, masalah- masalah moral dan etika akan ikut mempengaruhi akan pilihan strategi dalam mengembangkan peradaban dimasa depan. Hal ini terlihat dalam gejala awal bagi meningkatkan tuntutan hak- hak asasi manusia, dan kuatnya semangat agama dalam kehidupan privad maupun public. Disamping itu mobolitas intelektual yang memiliki komitmen agama benar- benar terjadi dan ini akan sangat mempengaruhi corak agama benar- benar terjadi, dan ini akan sangat mempengaruhi corak peradapan dimasa yang akan datang.

Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi pada tingkat corak keberagamaan umat islam. Kemungkinan itu akan sangat ditentukan oleh berbagai factor yang saling menarik.

Dengan demikian, kita hanya bisa memperkirakan beberapa kemungkinan corak agama yang akan menjadi mental masyarakat dimasa mendatang.

1. Ia kecenderung bahwa islam akan semakin kuat. Disini ulama tetap memegang peran penting dalam rangka menjaga kemurnian agama dan karena itu mereka memiliki otoritas yang berbicara atas nama islam yang sesuai dengan ajaran Al- Qur”an dan sunnah.

2. Ialah kecenderungan bahwa islam akan berfungsi sebagai ajaran etika akibat proses modernisasi dan sekularisasi yang sangat kecil bagi penghayatan keagamaan.

3. Ialah kecenderungan islam dihayati dan diamalkan sebagai sesuatu yang spiritual sebagai reaksi terhadap perubahan masyarakat yangsangat cepat akibat kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan industralisasi. Jhon Naisbitt telah meramalkan kecenderungan ini akan semakin kuat pada masa yang akan datang.

Namun demikian, perlu diingat bahwa taswuf tidak bisa dipisahkan dari kerangka pengalaman agama, dank arena itu harus selalu berorientasi kepada Al- Qur’an dan sunnah.inilah yang mungkin disebut Hamka sebagai Hasawuf modern, yakni tasawuf yang membawa kemajuan, bersemangat tauhid dan jauh dari kemusyrikan, bid’ah dan khurafat. Karena itu, gambaran seorang sufi yang sejati ialah Nabi ketika Muhammad SAW, sprikualisme parsial, tetapi berfungsi yang mendorong gerak sejarah kedepan dan pada saat yang sama membuat hidup menjadi seimbang.

c. Hubungan Akhlak Dengan Tasawuf

sebelum menjelaskan hubungan akhlak dengan tasawuf islam memiliki 3 sendi ajaran yaitu:

1. Aqidah yang meliputi enam rukun.

2. Syariah yang meliputi lima rukun islam.

3. Insan yang meliputi hubungan terhadap Allah

Kedudukan tasawufdalam islam yaitu, bahwa tasawuf merupakan pengalaman batin manusia yang melahirkan kematangan spiritual dalam rangka memperoleh ma’zifah.

Jadi hubungan akhlak dengan tasawuf dalam islam ialah bahwa akhlak merupakan pangkal tolak tasawuf, sedangkan tasawuf adalah esensi dari akhlak itu sendiri.

Menurut imam Al- ghazali tasawuf adalah budi pekerti, barang siapa yang menyaipkan bekal berupa budi pekerti, maka ia menyiapkan bekal dalam tasawuf.

Menurut Syekh Amin Al- kurdy akhlak memiliki makna ynag lebih luas disbanding tasawuf. Tasawuf memiliki lima prinsip yang terkait dengan takwa, mengikuti sunnah, menahan diri, ridho dan tobat. Sedangkan akhlak memiliki makna yang lebih luas yaitu terkait dengan hubungan antar manusia, manusia dengan Allah, dan manusia dengan makhluk lainnya.

  1. KESIMPULAN

Tujuan tasawuf adalah perada sedekat mungkin disisi Allah dengan mengenalnya secara langsung dan tenggelam dalam kemahaesaannya yang mutlak. Dengan kata lain, bahwa sufi yaitu seorang yang ego pribadinya sudah lebur dalam pelukan keabdian Allah, sehingga semua rahasia yang membatasi dirinya dengan Allah tersangkap/ leasyaf.

Untuk mencapai tujuan ini seorang sufi harus menjalani proses dan spritualyang panjang yaitu melalui tahapan- tahapankesujian menuju Allah yang disebut dengan magamat.

  1. SARAN

Perlu diingat bahwa tidak bisa dipisahkan dari kerangka pengalaman agama, dank arena itu harus selalu berorientasi kepada Al- Qur’an dan sunnah.

Namun demikian, dalam kehidupan riil mungkin saja terjadi bahwa salah satu aspek ajaran islam ditentukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada zamannya.

BAB I

PENDAHULUAN

Rasulullah SAW, sebagai suri tauladan dan rahmatan lil’alamin bagi orang yang mengharapkan rahmat dan kedatangan hari kiamat dan banyak menyebut Allah (al-ahzaab : 21) adalah pendidik pertama dan terutama dalam dunia Pendidikan islam. Proses transformasi ilmu pengetahuan, internalisasi nilai-nilai spitualisme dan bimbingan emosional yang dilakukan Rasulullah dapat dikatakan sebagai mukjizat luar biasa, yang manusia apa dan dimana pun tidak dapat melakukan hal yang sama.

Hasil pendidikan Islam periode Rasulullah terlihat dari kemampuan murid-muridnya (para sahabat) yang luar biasa, misalnya : umat ibn Khotab ahli hukum dan pemerintahan, Abu Hurairah Ahli Hadis, Salman al-Farisi ahli Perbandingan Agama : Majusi, Yahudi, Nasrani dan Islam dan Ali ibn Abi Thalib ahli hukum dan tafsir al-Qur’an, kemudian muri dari para sahabat dikemudian hari, tabi’-tabi’in, banyak yang ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan sains, teknologi, astronomi, filsafat yang mengantarkan Islam pintu gerbang zaman keemasan. Hanya periode Rasulullah, fase Makkah dan fase Madinah, para aktivis pendidikan dapat menyerap berbagai teori dan prinsip dasar yang berkaitan dengan pola-pola pendidikan dan interaksi sosial yang lazim dilaksanakan dalam setiap manajemen pendidikan islam.

Gambaran dan pola pendidikan islam diperiode Rasulullah SAW di Makka dan Madinah adalah sejarah masa lalu yang perlu kita ungkapkan kembali, sebagai bahan perbandingan, sumber gagasan, gambaran strategi mensukseskan pelaksanaan proses pendidikan Islam. Pola pendidikan dimasa Rasulullah SAW, tidak terlepas dari metode, evaluasi, materi, kurikulum, pendidikan, peserta didik. Lembaga, dasar, tujuan dan sebagainya yang bertalian dengan pelaksanaan pendidikan Islam, baik secara teoristis maupun praktis.

Makalah singkat dan tipis ini tidak dapat menampung semua bentuk pola pendidikan silam karena keterbatasan waktu dan juga keterabatasan ilmu penulis dalam mengungkapkannya. Meskipun makalah ini sangat sederhana paling tidak akan menambah motivasi dan wawasan pembaca untuk meninjau dan menggali lebih dalam tentang pola pendidikan Islam periode Rasulullah. Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi para pembaca. Wallahu alam ala kulli haq, wassalam.





BAB II

POLA PENDIDIKAN ISLAM PADA PERIODE RASULULLAH

(MAKKAH DAN MADINAH)

Kondisi sosio-kultural masyarakat Arab pra Islam. Terutama pada masyarakat Makkah dan Madinah sangat mempengaruhi pola pendidikan periode Rasulullah di Makkah dan Madinah. Secara kuantitas orang-orang yang masuk Islam pada fase Makkah lebih sedikit dari pada orang-orang yang masuk Islam pada fase Madinah. Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh watak dan budaya nenek moyang mereka sedangkan masyarakat Madinah lebih mudah dimasuki ajaran Islam karena saat kondisi masyarakat, khususnya Aus dan Khazraj, sangat membutuhkan seorang pemimpin, untuk melenturkan pertikaian sesame mereka dan sebagai “pelindung” dari ancaman kaun Yahudi, disamping sifat penduduknya yang lebih ramah yang dlatarbelakangi kondisi geografis yang lebih nyaman dan subur. Penulis mencoba mengungkapkan pola pendidikan Islam periode Rasulullah SAW yang dapat dibedakan menjadi dua fase yaitu (1) Fase Makkah; (2) Fase Madinah.

A. Fase Makkah

Allah Maha bijaksana, sebagai calon panutan umat manusia, Muhammad ibn Abdullah sejak “awal sekali” telah disiapkan Allah, dengan menjaganya dari sikap-sikap jahiliyah. Dengan akhlaknya yang terpuji, syarat dengan nilai-nilai humanisme dan spiritualisme detengah-tengah umat yang hamper saja tidak berprikemanusiaan, Muhammad ibn Abdullah, masih sempat mendapat gelar penghargaan tertinggi, yaitu al-Amiin. Ibn Abdullah, seorang yang teguh mempertahankan tradisi Nabi Ibrahim, tabah dalam mencari kebenaran hakiki, menjatuhkan diri dari keramaian dan sikap hedonisme dengan berkontenplasi (bertahannus) di Gua hira.

Pada tanggal 17 Ramadhan turunlah wahyu Allah yang pertama, surat al’Alaq ayat 1-5 sebagai fase Pendidikan Islam Makkah.

1. Tahapan Pendidikan Islam Pada Fase Makkah

Pola pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah sejalan dengan tahapan-tahapan dakwah yang disampaikannya kepada kaum Quraisy. Dalam hal ini penulis membaginya kepada tiga tahap :

a. Tahap Pendidikan Islam secara Rahasia dan Perorangan

Pada awal turunnya wahyu pertama (the first revelation) al-Qur’an surat 96 ayat 5, pola pendidikan yang dilakukan adalah secara sembunyi-sembunyi, mengingat kondisi sosial politik yang belum stabil, dimulai dari dirinya sendiri dan keluarga dekatnya. Mula-mula Rasulullah mendidik istrinya, Khadijah untuk beriman kepada dan menerima petunjuk dari Allah, kemudian diikuti oleh anak angkatnya Ali Ibn Abi Thalib (anak pamannya) dan Zaid ibn Haritsah (seorang pembantu rumah tangganya yang kemudian diangkat menjadi anak angkatnya). Kemudian sahabat karibnya Abu Bakar Siddiq. Secara beransur-ansur ajakan tersebut disampaikan secara meluas, tetapi masih terbatas dikalangan keluarga dekat dari suku Qurays saja seperti Usman ibn Affan, Zubair ibn Awan, Sa’ad ibn Abi waqas, Bdurrahman ibn Auf, Thalhah ibn ubaidillah, Abu Ubaidillah ibn Jahrah, Arqam ibn Arqam, Fatimah binti Khattab, Said ibn Zaid, dan beberapa orang lainnya, mereka semua tahap awal ini disebut Assabiquna al awwalun, artinya orang-orang yang mula-mula masuk Islam. Sebagai lembaga Pendidikan dan pusat kegiatan Pendidikan Islam yang pertama pada era awal ini adalah rumah Arqam ibn Arqam.

b. Tahap Pendidikan Islam secara terang-terangan

Pendidikan secara sembunyi-sembunyi berlangsung selama tiga tahun, sampai turun waktu berikutnya, yang memerintahkan dakwah secara terbuka dan terang-terangan. Ketika wahyu tersebut turu, beliau mengundang keluarga dekatnya untuk berkumpul dibukt Shafa, menyerukan agar berhati-hati terhadap azab yang keras dikemudian hari (hari kiamat) bagi orang-orang yang tidak mengakui Allah sebagai Tuhan Yang Esa dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Seruan tersebut dijawab Abu Lahab, Celakalah kamu Muhammad ! untuk inikah kami mengumpulkan kami ?. saat itu turun wahyu menjelaskan perihal Abu Lahab dan Isterinya.

Perintah dakwah secara terang-terangan dilakukan oleh Rasulullah, seiring dengan jumlah sahabat yang semakin banyak dan untuk meningkatkan jangkauan seruan dakwah, karena diyakini dengan dakwah tersebut banyak kaum Quraisy yang akan masuk agama Islam. Disamping itu, keberadaan rumah Arqam ibn Arqam sebagai pusat dan lembaga Pendidikan Islam sudah diketahui oleh Kuffar Qrays.

c. Tahap Pendidikan Islam untuk Umum

Hasil seruan dakwah secara terang-terangan yang terfokus kepada keluarga dekat, kelihatannya belum maksimal sesuaid engan apa yang diharapkan. Maka Rasulullah mengubah strategi dakwahnya dari seruan yang terfokus kepada keluarga dekat beralih kepada seruan umu, umat manusia secara keseluruhan. Seruan dalam skala “internasional” tersebut didasarkan kepada perintah allah, surat al-Hijr ayat 94-95.

Sebagai tindak lanjut dari perintah tersebut, Pada musim haji Rasulullah mendatangi kemah-kemah pada jamaah haji. Pada awalnya tidak banyak yang menerima, kecuali sekelompok jamaah haji dari Yastrib, Kabiulah Khazraj yang menerima dakwah secara antusias. Dari sinilah sinar Islam memancar keluar Makkah.

Penerimaan masyarakat Yatsrib terhadap ajaran Islam secara antusias tersebut dikarenakan beberapa faktor, (1) adanya kabar dari kaum Yahudi akan lahirnya seorang Rasul ; (2) Suku Aus dan Khazraj mendapat tekanan dan ancaman dari kelompok yahudi ; (3) Komplik antara Khazraj dan Aus yang berkelanjutan dalam rentang waktu yang sudah lama, oleh karena itu mereka mengharapkan seorang pimpinan yang mampu melindungi dan mendamaikan mereka.

Berikutnya, dimusim haji pada tahun kedua belas kerasulan Muhammad SAW, Rasulullah didatangi dua belas orang laki-laki dan seorang wanita untuk berikrar kesetiaan, yang dikenal dengan “Bai’ah al’Aqabah I” mereka berjanji tidak akan menyembah selain kepada Allah SWT, tidak akan mencuri dan berzina : tidak akan membunuh anak-anak, dan menjauhkan perbuatan-perbuatan keji serta fitnah, selalu taat kepada Rasulullah dalam yang benar, dan tidak mendurhakainya terhadap sesuatu yang mereka tidak inginkan.

Berkat semangat yang tinggi yang dimiliki para sahabat dalam mendakwahkan ajaran Islam, sehingga seluruh penduduk Yastrib masuk Islam kecuali orang-orang Yahudi. Musin haji berikutnya 73 orang jamaah haji dari Yastrib mendatangi Rasulullah SAW dan menetapkan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya ditempat yang sama dengan pelaksanaan “Baiah al-Aqabah I” tahun lalu, yang dikenal dengan “Baiah al-Aqabah II” dan mereka bersepakat akan memboyong Rasulullah ke Yatsrib.

2. Materi Pendidikan Islam

Materi pendidik pada fase Makkah dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu (1) pendidikan tauhid ; (2) pengajaran al-Qur'an. Pertama, matei pendidikan tauhid, materi ini lebih difokuskan untuk memurnikan ajaran agama tauhid yang dibawa Nabi Ibrahin, yang telah diselewengkan oleh masyarakat jahiliyah. Secara teoris intisari ajaran tauhid terdapat dalam kandungan surat al-Fatihah ayat 1-7 dan surat al-Ikhlas, ayat 1-5. secara praktis pendidikan tauhid diberikan malaui cara-cara yang bijaksana, menuntun akan pikiran dengan mengajak umatnya untuk pembaca, memperhatikan dan memikirkan kekuasaan dan kebesaran Allah dan diri manusia sendiri. Kemudian beliau mengajarkan cara bagaimana mengaplikasikan pengertian tauhid tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah langsung menjadi contoh bagi umatnya. Hasilnya, kebiasaan masyarakat Arab yang memulai perbuatan atas nama berhala, diganti dengan ucapan Bismillahirrahmanirrahim.kebiasaan menyembah berhala, maka diganti dengan menggagungkan dan menyembah Allah SWT.

Kedua, materi pengajaran al-Qur’an. Materi inidapat dirinci kepada : (1) materi tulis baca al-Qur'an, untuk sekarang ini disebut dengan materi imla’ dan iqra’. Dengan matei ini diharapkan agar kebiasaan orang Arab yang sering membaca syair-syair indah, diganti dengan membaca al-Qur'an sebagai bacaan yang lebih tinggi nilai sastranya (2) Matei menghafal ayat-ayat al-Qur'an, yang kemudian hari disebut dengan menghafalkan ayat-ayat suci al-Qur'an, (3) Materi pemahaman al-Qur'an, saat ini disebut dengan materi fahmi al-Qur'an atau tafsir al-Qur'an : tujuan materi ini adalah meluruskan pola piker umat Islam yang dipengaruhi pola piker jahiliyah. Disinilah letaknya fungsi hadis sebagai bacaan al-Qur’an.

3. Metode Pendidikan Islam

Metode pendidikan yang dilakukan Rasulullah dalam membidik sahabatnya antara lain : (1) metode ceramah, menyampaikan wahyu yang baru diterimanya dan memberikan penjelasan-penjelasan serta keterangan-keterangannya ; (2) dialog, misalnya dialog antara Rasulullah dengan Mu’az ibn Jabal ketika Mu’az akan diutus sebagai Ahadi ke negeri Yaman, dialog antara Rasulullah dengan para sahabat untuk mengatur strategi perang, (3) diskusi atau Tanya jawab ; sering sahabat bartanya kepada Rasulullah tentang suatu hukum, kemudian rasul menjawab, (4) metode perumpanaan : misalnya orang mukmin itu laksana satu tubuh, bila sakit salah satu anggota tubuh maka anggota tubuh lainnya akan turut merasakannya. (5) metode kisah, misalnya kisah beliau dalam perjalanan isra` dan miraj dan kisah tentang pertemuan anatara nabi Musa dengan nabi Khaidir (6) metode pembiasaan : membiasakankaum muslimin shalat berjemaah (8) metode hafalanmisalnya para sahabat dianjurkan untuk menjaga al-Quran dengan menghafalnya.

Dalam buku “Tarbiyah Islamiyah” yang ditulis oleh Najb Khalid al-Amar, mengatakan bahwa metode pendidikan Islam yang dilakukan Nabi Muhammad SAW pada periode Makkah dan Madinah, adalah (1) melalui teguran langsung misalnya hadist Rasulullah SAW: Umar ibn Salmah r.a”dulu akan menjadi pembantu di rumah Rasulullah SAW, ketika makan misalnya aku mengulurkan tanganku ke berbagai penjuru. Melihat itu beliau berkata, Hai ghulam bacalah bismillah, makanlah dengan kananmu dan makanlah apa yang ada didekatmu” (2) melalui sindiran Rasulullah SAW bersabda : “apa keinginan kaum yang mengatakan begini begitu? Sesungguhnya aku shalat dan tidur, aku berpuasa dan berbuka dan aku menikahi wanita maka barangsiapa yang tidak senang dengasn sunnahku berarti dia bukan golonganku. ( lihat Shahirul Jami` Ash Shaghir, jus 5 hadis no 5448 ( 3) pemutusan dari jamaah. Pernah Ka`ab ibn Malik tidak ikut beserta Rasullah SAW dalam perang Tabuk. Dia berkata Nabi melarang sahabat lainnya berbicara dengan aku, disebutkan Rasulullah SAW bersabda perintahkanlah anak-anakmu shalat dari usia tujuh tahun dan pukullah mereka kalau enggan mengerjakannya Pada usia sepuluh tahun, serta pisahkan merka dari tempat tidur ( HR Abu Daun dan Hakim) (5) melalui perbandingan kisah orang-orang terdahulu; menggunakan kata isyarat : misalnya merapatkan kedua jarinya sebagai isyarat perlunya menggelang persatuan; keteladanan setiap apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW maka yang menjadi uswahnya adalah Rasulullah SAW sendiri.

4. Kurikulum Pendidikan Islam

Kurikulum Pendidikan Islam pada priode Rasululah baik di Makkah maupun Madinah adalah al-Quran yang Allah wahyukan sesuai dengan kondisi dan situasi, kejadian dan peristiwa yag dialami umat Islam pada saat itu, karena itu dalam prakteknya tidak saja logis dan rasional tapi juga fitra dan pragmatis. Hasil cara yang demikian dapat dilihat dari sikap rohani dan mental para pengikutnya.

5. Lembaga Pendidikan Islam

Menurut hemat penulis lembaga pendidikan islam pada fase Makkah ada dua macam tempat yaitu rumah Arqam ibn Arqam dan Kuttah

  1. Rumah Arqam ibn Arqammerupakan tempat pertama berkumpulnya kaum muslimin beserta Rasulullah SAW untuk belajar hukum-hukum dan dasar-dasar ajaran Islam . Rumah ini merupakan lembaga pendidikan pertama atau madrasah yang pertama sekali dalam Islam adapun yang mengajar dalam lembaga tersebut adalah Rasulullah SAW sendiri.
  2. Kuttab. Pendidiksan di kuttab tidak sama dengan pendidikan yang diadakandi rumah Arqam ibn Arqam, pendidikan di rumah Arqam ibn Arqam kandungan materi tentang hukum Islam dan Dasar –dasar agama Islam , sedangkan pendidikan di kuttab pada awalnya lebih terfokus pada materi tulis baca sastra, syair arab dan pembelajaran berhitung namun setelah datang Islam materinya ditambah dengan materi tulis baca al-Quran dan memahami hukum-hukum Islam. Adapun guru yang mengajar di Kuttab pada era awal Islam adalah orang-orang non Islam. Dalam sejarah Pendidikan Islam istilah kuttab telah dikenal dikalangan bangsa arab pra Islam, secara etimologi kuttab berasal dari bahasa Arab yakni kataba, yaktubu, kitaaban yang artinya telah menulis, sedang menulis dan tulisan sedangkan maktab artinya meja atau tempat menulis

B. Fase Madinah

Kedatangan Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimin Makkah , disambut oleh penduduk Madinah dengan gembira dan penuh rasa persaudaraan. Maka Islam mendapat lingkungan baru yang bebas dari ancaman para penguasa Quraisy Makkah , lingkungan yang da`wahnya, menyampaikan ajaran Islam menjabarkannya dalam kehidupan sehari-hari. Wahyu secara beruntun selama periode Madinah kebijaksanaan Nabi Muhammad SAW dalam mengajarkan al-Quran adalah menganjurkan pengikutnya untuk menghafal dan menuliskan ayat-ayat al-Quran sebagaimana diajarkannya. Beliau sering mengadakan ulangan-ulangan dalam pembacaan al-Quran dalam salat,dalam pidato-pidato, dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain kesempatan.

  1. Lembaga Pendidikan Islam

Ketika Rasulullah SAW dan para sahabat hijra ke Madinah salah satu program pertama yang beliau lakukan adalah pembangunan sebuah masjid. Setelah selesai pembangunan masjid, maka nabi Muhammad SAW pindah menempati sebagian ruangannya yang memang khusus disediakan untuknya. Demikian pula di antara kaum Muhajirin yang miskin yang tidak mampu membangun tempat tinggalnya sendiri.

Masjid itulah pusat kegiatan Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimin, untuk secara bersama-sama membina masyarakat baru, masyarakat yang disinari oleh tauhid dan memcerminkan persatuan dan kesatuan umat. Dimasjid itulah beliau bermusyawarah mengenai berbagai urusan, mendirikan shalat berjemaah, membacakan al-Quran, maupun membacakan ayat-ayat yang baru diturunkan. Dengan demikian masjid itu merupakan pusat pendidikan dan pengajaran.

Suatu kebijaksanaan yang sangat efektif dalam pembinaan dan pengembangan masyarakat baru di Madinah, adalah disyari`atkannya media komunikasi berdasarkan wahyu, yaitu shalat Jumat yang dilaksanakan secara berjemaah dan adzan. Dengan shalat Jumat tersebut hampir seluruh warga masyarakat berkumpul untuk secara langsung mendengar khutbah dari nabi Muhammad SAW dan shalat Jumat berjemaah.

  1. Materi Pendidikan Islam di Madinah

Pada fase Madinah materi pendidikan yang diberikan cakupannya lebih komplek dibandingkan dengan amteri pendidikan fase Makkah. Di antara pelaksanaan Pendidikan Islam di Madinah adalah :

  1. Pendidikan ukhwah ( persaudaraan) antara kaum muslimimin

Dalam melaksanakan pendidikan ukhwah ini, nabi Muhammad SAW bertitik tolak dari struktur kekeluargaan yang ada pada masa itu. Untuk mempersatukan keluarga itu nabi Muhammad SAW berusaha untuk mengikatnya menjadi satu kesatuan yang terpadu. Mereka dipesaudarakan karena Allah bukan karena yang lain-lain. Sesuai dengan isi kontitusi Madinah pula, bahwa antara orang yang beriman, tidak boleh membiarkan saudaranya menanggung beban hidup dan utang yang berat di antara sesama mereka. Anatara orang yang beriman satu sama lainnya harusla saling bantu membantu dalam menghadapi segala persoalan hidup. Mereka harus bekerja sama dalam mendatangkan kebaikan, mengurus kepentingan bersama dan menolak kemudaratan atau kejahatan yang akan menimpa

  1. Pendidikan kesejahteraan sosial

Terjaminnya kesejahteraan sosial, tergantung pertama-tama pada terpenuhinya kebutuhan pokok daripada kehidupan sehari-hari. Untuk itu setiap orang harus bekerja mencari nafkah. Untuk mengatasi masalah pekerjaan tersebut, nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada kaum Muhajirin yang telah dipersaudarakan dengan kaum Ansor, agar mereka bekerja bersama dengan saudara-saudaranya tersebut. mereka kaum Muhajirin yang biasa betani silakan mengikuti pertanian, yang biasa berdaganga silakan mengikuti saudara yang berdagang. Untuk pengamanan nabi Muhammad SAW membentuk satuan-satuan pengamat yang mendapat tugas untuk menjaga kemungkinan-kemungkinban terjadinya serangan dan gangguan terhadap kehidupan kaum muslimin. Satuan-satuan ini adalah merupakan embrio dari pasukan yang bertugas untuk mengamankan dan mempertahankan serta mendukung tugas-tugas da`wah Islam lebih lanjut.

  1. Pendidikan kesejahteraan keluarga kaum kerabat

Yang dimaksud dengan keluarga adalah suami, istri dan anak-anaknya. Nabi Muhammad SAW berusaha untuk memperbaiki keadaan itu dengan memperkenalkan dan sekaligus menerapkan sistem kekeluargaan kekerabatan baru, yang berdasarkan taqwa kepada Allah. Diperkenalkannya sistem kekeluargaan dankekerabatan yang berdasarkan pada pengakuan hak-hak individu, hak-hak keluarga dan kemurniaan keturunannya dalam kehidupan kekerabatan dankemasyarakatan yang adil dan seimbang, seperti yang terlihat dalam surat al-Hujarat ayat 13 :

Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu

Hubungan kekerabatan, terbentuk dengan sendirinya sebagai akibat dari aturan tentang muhrim dan ahli waris bagi seorang yang meninggal dunia serta aturan perwalian. Dalam hubungan kekerabatan ini, ciri-ciri individu dan keluarga tampak jelas danmenonjol dengan hak milik terhadap harta kekeyaan, sedangkan ciri kekerabatan hanya nampak pada hakekatnya hubungan antar individu yang ditandai dengan tidak boleh melaksanakan perkawinan intern kerabat.

  1. Pendidikan hamkam (pertahanan dan keamanan ) dakwah Islam

Masyarakat kaum muslimin merupakan satu state (negara) di bawah bimbingan nabi Muhammad SAW yang mempunyai kedaulatan. Ini merupakan dasar bagi usaha dakwahnya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia secara bertahap. Oleh karena itu setelah masyarakat kaum muslimin di Madinah berdiri dan berdaulat, usaha nabi Muhammad SAW berikutnya adalah memperluas pengakuan kedaulatan tersebut dengan jalan mengajak kabilah-kabilah sekitar Madinah untuk mengakui konstitusi Madinah. Ajakan tersebut disampaikan dengan baik-baik dan bijaksana.

Untuk mereka yang tidak mau mengikat perjanjian damai ada dua kemungkinan tindakan nabi Muhammad SAW yaitu (1) kalau mererka tidak menyatakan permusuhan atau tidak menyerang kaum muslimin atau kaum kabilah yang telah mengikat perjanjian dengan kaum muslimin, maka mereka dibiarkan saja; (2) tetapi kalau mereka menyatakan permusuhan dan menyerang kaum muslimin atau menyerang mereka yang telah mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin, maka harus ditundukan/diperangi, sehingga merka menyatakan tunduk dan mengakui kedaulatan kaum muslimin

BAB III

PENUTUP

Pola Pendidikan Islam periode Rasulullah SAW fase Makkah-Madinah belum semuanya penulis buisa termuat dalam makalah. Paling tidak dari pembahasan tersebut akan ditemukan benang merah bahwa pola pendidikan fase Makkah dan Madinah memiliki persamaan dan perbedaan, fase Makkah ada dua lembaga pendidikan yaitu rumah Arqam ibn Arqam dan Kuttab, sedangkan di Madinah lembaga pendidikan rumah para sahabat dan Masjid yang multi fungsi

Materi pendidikan di madinah adalah sebagai berikut

  • Pendidikan Ukhwah ( persaudaraan) antara kaum muslimimin
  • Pendidikan kesejahteraan sosial
  • Pendidikan kesejahteraan keluarga kaum kerabat
  • Pendidikan hamkam (pertahanan dan keamanan ) dakwah Islam

Kuriukulum yang dipakai Makkah dan Madinah adalah sama yaitu al-Quran yang dijelaskan dengan hadis nabi Muhammad SAW yang diturunkan secara berangsur-angsur, hanya kurikulum di Madinah lebih komplit, seirama dengan bertambahnya wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW




DAFTAR KEPUSTAKAAN

Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Penrj. Ali Audah ( Jakarta : Balai Pustaka, 1972)

Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Buni Aksara : bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1997), cet ke-5

ajb Khalid al-Amar, tarbiyah Rasulullah, penjrj. Ibn Muhammad, Fakhrudin Nursyam ( Jakarta : Gema Insani Prres 1996), cet ke-3

Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Buni Aksara : bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1997), cet ke-5,

Pola dan Strategi Pendidikan Islam

Peran guru, setelah orangtua, cukup besar pengaruhnya dalam pembentukan kepribadian anak. Untuk mencetak generasi unggul yang siap pakai menghadapi tantangan zaman, kepia­waian seorang guru untuk mengasah potensi yang terpendam dalam diri anak sangat diperlukan. Karena tanpa motivasi dan arahan yang tepat, anak tidak akan pernah berkembang menjadi manusia yang sempurna.

Banyak metode yang bisa ditempuh untuk mencapai keber­hasilan pendidikan. Namun yang paling mendasar ialah adanya ikatan psikologis antara dua kutub (pendidik dan pelajar) dalam berinteraksi. Sehingga terjadi kesamaan visi dan kerjasama untuk membangun kebiasaan yang baik. Seorang guru musti cermat membaca kondisi fisik, psikologis, dan kemam­puan daya nalar anak didiknya.

Dalam proses belajar‑mengajar kadangkala ada saja anak didik yang berkelakuan menyakitkan hati. Disinilah diperlu­kan sikap lapang dada dari sang guru untuk memaafkan dan melupakan kejelekan yang diperbuat muridnya. Sebab, kesabar­an merupakan penghulu akhlak manusia, terutama untuk menca­pai perbaikan. Ketenangan serta kelembutan merupakan langkah yang aman dalam proses pembersihan kalbu.

Demikian Allah berfirman: “Maka disebabkan rahmat dari Allah hendaklah kamu berlaku lemah‑lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauh dari sekelilingmu. Karena itu, maafkan­lah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan dimaksud. Kemudian apabila kamu telah berbulat tekad, maka bertawakal kepada Allah. Sesung­guhnya Allah menyukai orang‑orang yang bertawakal kepada‑Nya (QS. Ali Imran: 159).

Disamping itu, seorang pendidik seyogianya jeli melihat kelemahan dan kelebihan masing‑masing anak asuhnya. Sehingga ia tidak akan membebankan bahan pelajaran diluar batas kemampuan muridnya.

Perbedaan potensi itu sebetulnya mengandung beberapa hikmah. Pertama, mengokohkan kekuasaan Sang Khalik. Bahwa semenjak penciptaan Adam as sampai sekarang tak ada manusia yang sama perwatakan maupun fisiknya. Hal ini menandaskan betapa kreatif dan agungnya Allah SWT. Kedua, kelebihan seseorang di bidang tertentu biasanya disertai kelemahan di sisi lain. Kenyataan ini membuktikan bahwa manusia itu tidak ada yang sempurna. Sehingga di antara satu dengan lainnya terjalin rasa saling membutuhkan.

Pemahaman tersebut secara tidak langsung akan mendorong anak didik untuk tidak memusatkan perhatian pada titik kelemahan dirinya, melainkan justru memperkuat potensi (bakat) yang dimilikinya.

Lalu siapakah yang bertanggung‑jawab untuk menggali aset yang terpendam dalam diri anak itu?

Terutama tentu saja orangtua. Mereka hendaknya lebih dulu mengetahui bakat yang ada pada anaknya. Sebab selagi masih kecil seorang anak benar‑benar jujur dalam mengungkap­kan perasaannya. Gerak maupun ekpresi wajahnya merupakan sinyal yang mewakili keinginannya. Pada saat itulah orangtua hendaknya memberi arahan. Disinilah pentingnya keteladanan. Karena anak akan mencontoh apa yang dilihat dan didengarnya. Pada usia dini anak akan mudah menyerap apa yang diajarkan.

Berikutnya, adalah tanggung jawab sekolah untuk menyem­purnakan pendidikan. Karena guru punya kemampuan khusus untuk mengasah lebih seksama bakat yang dimiliki anak. Disinilah anak mendapat pengajaran yang lebih intensif.

Dalam bukunya yang berjudul Mendidik Ala Rasululllah ini, Abdul Hamid Al Hasjimi banyak menawarkan alternatif seputar metode dan media yang digunakan dalam pendidikan Islam. Termasuk cerita dan kelakar juga dapat dijadikan sarana pemicu bagi anak untuk menyerap berbagai pelajaran.

Lebih jauh, agar pendidikan islam berhasil optimal ada beberapa hal yang perlu digaris‑bawahi bersama.

Pertama, perhatian pendidikan Islam hendaknya bersifat transparan dan menghindari fanatisme buta.

Kedua, concern terhadap pemikiran global. Untuk mengko­munikasi pemikiran Islam ke wilayah yang lebih luas bisa melalui diskusi, penerbitan buku, observasi, penyelenggaraan pertemuan ilmiah maupun muktamar serta pendirian lembaga‑ lembaga atau insitusi pengajaran.

Ketiga, hasil pendidikan yang diharapkan tidak bisa dirasakan secara tergesa‑gesa. Pendidikan psikologi dan perkembangan anak tidak dapat diukur berdasarkan hitungan jam, hari, bulan dan tahun. Paling tidak untuk mencari bentuk Islami dari pendidikan modern dibutuhkan waktu satu generasi.

Keempat, yang terpenting ialah memelihara aqidah umat Islam, sejarah kemanusiaan dan warisan masyarakatnya, diser­tai dengan pemberian kebebasan secara luas untuk sesuatu yang berguna dan bermanfaat (hal: 122).

Untuk membangun psikologi umat Islam ke arah kemajuan, tak bisa tidak dibutuhkan semangat berkreasi dan berinovasi. Inilah langkah yang musti kita ambil dalam rangka mengejar berbagai ketertinggalan.