Nabi s.a.w.bersabda yang maksudnya:
"Sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan budipekerti yang mulia."(H.R.Ahmad)
Akhlak ataupun budipekerti memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Akhlak yang baik akan membedakan antara manusia dengan hewan. Manusia yang berakhlak mulia, dapat menjaga kemuliaan dan kesucian jiwanya, dapat mengalahkan tekanan hawa nafsu syahwat syaitoniah, berpegang teguh kepada sendi-sendi keutamaan. Menghindarkan diri dari sifat-sifat kecurangan, kerakusan dan kezaliman. Manusia yang berakhlak mulia, suka tolong menolong sesama insan dan makhluk lainnya. Mereka senang berkorban untuk kepentingan ersama.Yang kecil hormat kepada yang tua,yang tua kasih kepada yang kecil.Manusia yang memiliki budi pekerti yang mulia, senang kepada kebenaran dan keadilan, toleransi, mematuhi janji, lapang dada dan tenang dalam menghadapi segala halangan dan rintangan.
Akhlak yang baik akan mengangkat manusia ke darjat yang tinggi dan mulia. Akhlak yang buruk akan membinasakan seseorang insan dan juga akan membinasakan ummat manusia. Manusia yang mempunyai akhlak yang buruk senang melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Senang melakukan kekacauan, senang melakukan perbuatan yang tercela, yang akan membinasakan diri dan masyarakat seluruhnya. Nabi s.a.w.bersabda yang bermaksud:
"Orang Mukmin yang paling sempurna imannya, ialah yang paling baik akhlaknya."(H.R.Ahmad)
Manusia yang paling baik akhlaknya ialah junjungan kita Nabi
s.a.w. sehingga budi pekerti beliau tercantum dalam al-Quran, Allah
berfirman yang maksudnya: "Sesungguhnya engkau (Muhammad), benar-benar berbudi pekerti yang agung. "Sesuatu Ummat bagaimanapun hebat Kekuatan dan Kekayaan yang dimilikinya, akan tetapi jika budi pekertinya telah binasa, maka Ummat itu akan mudah binasa. Manusia yang tidak punya akhlak, mereka sanggup melakukan apa saja untuk kepentingan dirinya. Mereka sanggup berbohong, membuat fitnah, menjual marwah diri dan keluarga, malah dengan tidak segan silu lagi dia menjual Agama dan Negaranya.
Akhlak Pergaulan Baik Dalam Berbicara, Pergaulan Dan Bergaul Dalam Suami Isteri
Akhlak Pergaulan Dalam Berbicara
Akhlak pergaulan dalam berbicara ialah tingkah laku serta tutur kata yang halus. Setiap muslim hendaklah menjaga adab sopan yang telah ditetapkan supaya kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat dapat dijaminkan.
dapat membezakan di antara manusia dengan haiwan. Penyair arab ada berkata : “Ketinggian umat bergantung kepada ketinggian akhlak dan adab sopannya. Sebaliknya jika akhlak umat itu runtuh maka runtuhlah umat tersebut.”
Dalam kehidupan seorang muslim, ia perlu memelihara adab sopan, akhlak dan nilai-nilai murni, sama ada ketika berada di rumah, di sekolah, atau di mana-mana sahaja.
Di rumah, kita merupakan anak dan saudara kepada adik-beradik yang lain. Dalam keadaan ini kita hendaklah patuhdan hormat kepada ibu, ayah dan orang yang lebih tua daripada kita.
Akhlak Pergaulan Dalam Perbuatan
Tetapi apa yang berlaku di dalam sebuah keluarga, ada anak-anak yang tidak patuh dan hormat kepada ibu, ayah serta orang-orang yang lebih tua daripada mereka. Mereka berani melawan cakap ibu dan ayah ketika mereka memberi nasihat dan teguran yang membina.
Sedarkah anda bahawa perbuatan tersebut merupakan perbuatan menderhakai ibu bapa ? Apakah akibat dan kesannya kepada orang yang menderhakai ibu bapa ? Begitu juga ketika bersama-sama dengan adik-beradik yang lain. Kadang-kadang kita bertengkar dan bercakap dengan suara yang tinggi tanpa merasa malu kepada ayah dan ibu serta jiran. KIta tidak menghiraukan lagi adab sopan dan hak orang lain.
Manakala di sekolah pula, kita sentiasa berhadapan dengan guru-guru serta rakan-rakan. Guru telah banyak mengajar, mendidik dan membimbing kita ke arah kejayaan. Mereka sepatutnya dihormati dan disayangi oleh setiap pelajar.
Tetapi hari ini, apa yang berlaku ?
Tingkah laku mereka ini bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan nilai kemaanusiaan. Akibatnya ilmu yang mereka perolehi tidak mendapat berkat. Lantaran mereka menjadi pelajar yang rugi, gagal menghadapi peperiksaan.
Justeru itu, sekiranya mereka tidak mengubah sikap dan tingkah laku tersebut, PERCAYALAH !! Mereka akan menjadi pelajar yang bermasalah di sepanjang persekolahan. Mereka akan disisih daripada rakan-rakan serta dikenakan tindakan disiplin seperti dirotan atau dibuang sekolah.
Akhlah Dalam Pergaulan, Bergaul Dalam Suami Isteri
Tuturan di atas hendak memberikan gambaran kepada pembaca tentang indahnya rumah tangga seorang muslim yang memerhatikan akhlak mulia dalam pergaulan suami istri, sebagaimana rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga perhatian terhadap kemuliaan akhlak ini menjadi satu keharusan bagi seorang suami maupun seorang istri. Karena terkadang ada orang yang bisa bersopan santun, berwajah cerah dan bertutur manis kepada orang lain di luar rumahnya, namun hal yang sama sulit ia lakukan di dalam rumah tangganya. Ada orang yang bisa bersikap pemurah kepada orang lain, ringan tangan dalam membantu, suka memaafkan dan berlapang dada, namun giliran berhadapan dengan “orang rumah”, istri ataupun anaknya, sikap seperti itu tak tampak pada dirinya.
Menyinggung akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarganya maka hal ini tidak hanya berlaku kepada para suami, sehingga para istri merasa suami sajalah yang tertuntut untuk berakhlak mulia kepada istrinya. Sama sekali tidak dapat dipahami seperti itu. Karena akhlak mulia ini harus ada pada suami dan istri sehingga bahtera rumah tangga dapat berlayar di atas kebaikan. Memang suamilah yang paling utama harus menunjukkan budi pekerti yang baik dalam rumah tangganya karena dia sebagai qawwam, sebagai pimpinan. Kemudian dia tertuntut untuk mendidik anak istrinya di atas kebaikan sebagai upaya menjaga mereka dari api neraka sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Seorang istri pun harus memerhatikan perilakunya kepada sang suami, sebagai pemimpin hidupnya. Tak pantas ia “menyuguhi” suaminya ucapan yang kasar, sikap membangkang, membantah dan mengumpat. Tak semestinya ia tinggi hati terhadap suaminya, dari mana pun keturunannya, seberapa pun kekayaannya dan setinggi apa pun kedudukannya. Tak boleh pula ia melecehkan keluarga suaminya, menyakiti orang tua suami, menekan suami agar tidak memberikan nafkah kepada orang tua dan keluarganya.
Kenyataannya, banyak kita dapati istri yang berani kepada suaminya. Tak segan saling berbantah dengan suami, bahkan adu fisik. Ia tak merasa berdosa ketika membangkang pada perintah suami dan tidak menuruti kehendak suami. Ia merasa tenang-tenang saja ketika hak suami ia abaikan. Ia menganggap biasa perbuatan menyakiti mertua. Ia tekan suaminya agar tidak memberi infak pada keluarganya. Ia mengumpat, ia mencela, ia menyakiti… Istri yang seperti ini gambarannya jelas bukan istri yang berakhlak mulia dan bukanlah istri shalihah yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan5 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita/istri shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)
Dan bukan istri yang digambarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhuma:
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan (harta yang disimpan) seorang lelaki, yaitu istri shalihah, yang bila dipandang akan menyenangkannya6, bila diperintah7 akan menaatinya8 dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga harta dan keluarganya.” (HR. Abu Dawud. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu menshahihkannya di atas syarat Muslim dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang perlu memberi kabar gembira kepada para sahabatnya tentang perbendaharaan harta mereka yang terbaik, di mana harta ini lebih baik dan lebih kekal yaitu istri yang shalihah, yang cantik lahir batin. Karena istri yang seperti ini akan selalu menyertai suaminya. Bila dipandang suaminya, ia akan menyenangkannya. Ia tunaikan kebutuhan suaminya bila suami membutuhkannya. Ia dapat diajak bermusyawarah dalam perkara suaminya dan ia akan menjaga rahasia suaminya. Bantuannya kepada suami selalu diberikan, ia menaati perintah suami. Bila suami sedang bepergian meninggalkan rumah, ia akan menjaga dirinya, harta suaminya, dan anak-anaknya. (‘Aunul Ma’bud, 5/57)
Oleh karena itu, wahai para istri, perhatikanlah akhlak kepada suami dan kerabatnya. Ketahuilah, akhlak yang baik itu berat dalam timbangan nanti di hari penghisaban dan akan memasukkan pemiliknya ke dalam surga, sebagaimana dikabarkan dalam hadits berikut ini. Abud Darda` z mengabarkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin kelak di hari kiamat daripada budi pekerti yang baik. Dan sungguh Allah membenci orang yang suka berkata keji, berucap kotor/jelek.” (HR. At-Tirmidzi no. 2002, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 876)
Bagi para suami hendaknya pula memerhatikan pergaulan dengan istrinya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istrinya mendengarkan dendangan tersebut karena hari itu bertepatan dengan hari raya (Id). Sementara pada hari raya diperkenankan bagi kaum muslimin untuk menampakkan kegembiraan, bahkan hal ini termasuk syiar agama, selama dalam koridor syariat tentunya. Dan hadits ini bukanlah dalil untuk menyatakan bolehnya bernyanyi dan mendengarkan nyanyian baik dengan alat ataupun tanpa alat, sebagaimana anggapan kelompok Sufi. (Lihat penjelasannya dalam Fathul Bari, 2/570-571)
Ketauladan Ibu Dan Bapak Yang Wajib Ditunjukkan Kepada Anak
Hubungan orang tua sesama anak sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa anak. Hubungan yang serasi, penuh pengertian dan kasih sayang akan membawa anak kepada pembinaan pribadi yang tenang, terbuka dan mudah dididik, karena anak mempunyai kesempatan yang baik untuk tumbuh berkembang.
Hubungan yang sangat erat yang terjadi dalam pergaulan sehari-hari antara orang tua dan anak merupakan hubungan berarti yang diikat pula oleh adanya tanggung jawab yang benar sehingga sangat memungkinkan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan atas dasar rasa cinta kasih sayang yang murni, rasa cinta kasih sayang orang tua terhadap anaknya
Tetapi hubungan orang tua yang tidak serasi, banyak perselisihan dan percekcokan akan membawa anak kepada pertumbuhan pribadi dan tidak dibentuk, karena anak tidak mendapat suasana yang baik untuk berkembang, sebab selalu terganggu oleh suasana orang tuanya. Dan banyak lagi faktor-faktor tidak langsung dalam keluarga yang mempengaruhi pembinaan pribadi anak. Di samping itu, banyak pula pengalaman-pengalaman yang mempunyai nilai pendidikan baginya, yaitu pembinaan-pembinaan tertentu yang dilakukan oleh orang terhadap anak, baik melalui latihan-latihan atau pembiasaan, semua itu merupakan unsur pembinaan pribadi anak.
Contoh Tauladan
Suatu sikap keteladanan dan perbuatan yang baik dan positif yang dilaksanakan oleh orang tua sangat diperlukan. Hal ini merupakan proses pendisiplinan diri anak sejak dini, agar anak kelas terbiasa berbuat baik sesuai dengan aturan dan norma yang ditetapkan di masyarakat berdasarkan kaidah yang berlaku orang tua yang dapat memberi contoh tauladan yang baik kepada anak-anaknya adalah orang tua yang mampu dan dapat membimbing anak-anaknya ke jalan yang baik sesuai dengan yang diharapkan.
Pembentukan Sikap
Dalam pergaulan sehari-hari kata sikap sering kali digunakan dalam arti yang salah dan kurang tepat. Untuk lebih jelasnya Ngalim Purwanto (1997:140), mengemukakan definisi sikap ialah “Suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang” suatu kecenderungan untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap suatu perangsang atau situasi yang dihadapi.
Untuk mengetahui sejauhmana peranan sikap orang tua terhadap anak, maka akan diperinci setiap sikap serta akibatnya yang dapat dilihat dari sifat-sifat kepribadian yang terbentuk, yaitu:
1) Sikap Terlalu Menyayangi Dan Melindungi Serta Memanjakan
Orang tua terlampau cemas terhadap oleh karena itu Berhati-hati sekali mendidik anaknya dan senantiasa menjaga agar anaknya terhindar dari bahaya. Sikap melindungi dan menyayangi anak terlalu berlebihan serta cenderung mengerjakan apa saja untuk anaknya, akibatnya anak tidak dapat kesempatan untuk belajar berbuat sendiri, mengambil keputusan, anak sangat tergantung kepada orang tuanya sulit untuk menyesuaikan diri, bersifat ragu-ragu.
2) Sikap Otoriter
Sikap ini menggambarkan pengawasan yang keras dari orang tua terhadap anak-anaknya, banyak larangan, semua perintah harus dilaksanakan tanpa ada pengertian kepada anak. Akibatnya anak menjadi tidak taat bahkan anak melawan terang-terangan atau pura-pura taat, menjadi pasif, kurang inisiatif, bersifat menunggu (perintah), kemampuan untuk merencanakan sesuatu, tidak dapat mengambil keputusan sendiri, akan mudah cemas dan putus asa.
3) Sikap Demokratis
Sikap ini dapat digambarkan sebagai sikap orang tua yang senantiasa berembuk dengan anaknya mengenai tindakan-tindakan yang harus diambil, menerangkan alasan-alasan peraturan-peraturan memberi kesempatan pada anak untuk berpartisipasi, berinisiatif menghargai pendapat anak-anaknya, menanggapi pertanyaan-pertanyaan anak-anaknya, membimbing anak-anak ke arah penyadaran akan menjadi hal dan kewajiban dan bersikap toleran. Dari sikap demokratis ini akan menimbulkan kemampuan berinisiatif.
Birrul Walidain
Birrul Wlidain terdiri dari kata birru dan al-walidain. Birru artinya kebajikan. Al-walidain artinya dua orang tua atau ibu dan bapak. Birrul Walidain merupakan suatu istilah yang berasal langsung dari Nabi Muhammad saw, yang berarti berbuat kebajikan kepada kedua orang tua. Semakna dengan birrul walidain, Al-Qur’an Al-Karim menggunakan istilah ihsan (wa bi al-walidaini ihsana), seperti yang terdapat dalam firman Allah SWT berikut ini:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaikbaiknya...”(QS. Al-Isra’ 23)
Allah SWT mewasiatkan kepada umat manusia untuk berbuat ihsan kepada kedua orang tua kita, Allah SWT berfirman:
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibubapaknya…”(QS. Al-Ankabut 8)
Allah SWT juga meletakan perintah berterima kasih kepada kedua orang tua langsung sesudah perintah berterima kasih kepada Allah SWT. Allah berfirman:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”(QS. Luqman 14)
Rasulullah juga mengaitkan bahwa keridhaan dan kemarahan Allah SWT berhubungan dengan keridhaan dan kemarahan kedua orang tua. Rasulullah bersabda:
“Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua, dan kemarahan Rabb (Allah) ada pada kemarahan orang tua.”(HR. Tirmidzi)
Bentuk-bentuk Birrul Waldain
1. Mengikuti keinginan dan saran orang tua.
Seorang anak wajib mengikuti segala keinginan kedua orang tua, dengan catatan keinginan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Agama Islam. Allah berfirman :
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik…”(QS. Luqman 15)
Juga sesuai dengan sabda dari Rasulullah,
“Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah SWT, ketaatan hanyalah semata dalam hal yang ma’ruf.”(HR. Muslim)
2. Menghormati dan Memuliakan kedua orang tua
Banyak cara yang bisa dilakukan seorang anak untuk menunjukkan rasa hormat kepada kedua orang tua, antara lain memanggilnya dengan panggilan yang menunjukan rasa hormat, berbicara kepadanya lemah lembut, tidak mengucapkan kata-kata yang kasar, pamit jika ingin keluar rumah(bila tinggal serumah), dan lain sebagainya. Allah berfirman :
“…Jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia”(QS. Al-Isra 23)
3. Membantu kedua orang tua secara fisik dan materiil.
Seseorang dapat membantu kedua orang tua baik sebelum berkeluarga dan belum berpenghasilan maupun apabila anak tersebut sudah berkeluarga dan berpenghasilan. Misalnya, jika seorang anak belum berpenghasilan dapat membantu dengan cara fisik atau tenaga dan atau yang lain. Sedangkan bila anak sudah berpenghasilan dapat membantu secara materi dan atau yang lainnya.
Rasulullah bersabda :
“Siapakah yang paling berhak aku Bantu dengan sebaik-baiknya?jawab Nabi;”ibumu”. Kemudian siapa; jawab Nabi; “ibumu”. Lalu siapa lagi?jawab Nabi;”bapakmu.”(HR. Bukhari dan Muslim)
4. Mendo’akan kedua orang tua
Seorang anak yang berbakti adalah anak yang selalu mendo’akan kedua orang tua baik selama mereka masih hidup walaupun mereka telah menghadap sang Khaliq. Allah berfirman :
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".(QS. Al-Isra’ 24)
Demikianlah Allah SWT dan Rasul-Nya menempatkan orang tua pada posisi yang sangat istimewa sehingga berbuat baik kepada keduanya menempati posisi yang sangat mulia, dan sebaliknya durhaka kepada salah satu atau keduanya juga menempati posisi yang sangat hina. Secara khusus Allah mengingatkan betapa besar jasa dan perjuangan seorang ibu dalam mengandung, menyusui, merawat, dan mendidik anaknya. Kemudian bapak walaupun tidak ikut mengandung, tetapi dia berperan besar dalam mencari nafkah, membimbing, melindungi, membesarkan, dan mendidik anaknya hingga mampu berdiri sendiri, bahkan sampai waktu yang tidak terbatas.
Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah wajar apabila seorang anak menghormati dan menyanyangi kedua orang tua setelah cintanya kepada Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar