Jumat, 09 Mei 2008

Pengertian, Peran dan Kegunaan Sholat Jum'at

SHOLAT JUM'AT

PENDAHULUAN

Jumat adalah salah satu hari istimewa Islam, memiliki segudang rahasia samawi yang tidak terjangkau oleh akal kita. Tonggak agama yang mengakar pada ritual shalat fardlu menjadi lebih sarat akan makna, ketika waktu ini menjadi hari istimewa dengan perintah menjalankan syiar shalat Jumat ditengah umat. Melalui sebuah ayat dari Surat Al-Jumuah ayat 9, Allah menyampaikan perintah:

يَأيها الذيْنَ أَمَنُوا إِذَا نُودِى للصَّلاَةِ مِنْ يَومِ الجُمُعَةِ فَاسْعَوا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا البَيْعَ , ذَلِكْمُ خَيْرٌ لَكْم إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Yang paling menarik dari ibadah sholat Jum’at adalah adanya khutbah Jum’at yang disampaikan oleh khotib sebelum dilaksanakannya sholat jum’at. Artinya setiap jumat kaum muslimin laki-laki, baik tua maupun muda, buruh maupun majikan, guru maupun murid, dosen maupun mahasiswa, kuli maupun pedagang, sipil maupun militer, dan lain-lain senantiasa berkumpul untuk melaksanakan dan mengikuti khutbah Jum’at. Apa peranan stratetegisnya untuk pembinaan umat? Bagaimana memanfaatkan posisi khutbah jumat untuk pembinaaan umat? Khutbah yang bagaimana untuk itu, dan bagaimana menyusunnya? Tulisan ini akan menguraikannya.

PERAN STRATEGIS KHUTBAH JUM’AT BAGI PEMBINAAN UMMAH

Shalat Jumat sebagai sebuah rutinitas ritual, menjadi penopang syiar yang efektif dalam membentuk sebuah tradisi jama’i, yaitu kenginan untuk berpegang pada tali Allah dalam rangka berjuang mengangkat panji-panji Islam.

Sholat Jum’at adalah sholat jama’ah yang diwajibkan atas setiap laki-laki dewasa muslim (wajib ain) yang mukim untuk mengikutinya baik itu di masjid, di gedung, maupun di tempat-tempat lainnya yang sah untuk sholat.

Shalat Jumat ini dibebankan secara wajib (taklif) bagi mereka yang masuk katagori laki-laki, baligh, berakal, merdeka, bertempat tinggal dengan tanpa ada udzur syar'i (alas an dispensasi syariat). Taklif ini menurut madzhab Syafi'i, madzhab yang dianut mayoritas umat Islam Indonesia, adalah fardlu ain/kewajiban individu. Secara konkrit, perintah dalam redaksi ayat “fa'au ilaa dzikr alLah” (maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah) jelas menunjukkan kewajiban. Artinya, karena tujuan dari bersegera dalam ayat itu diperntahkan sebagai kewajiban, tujuannyapun tentu menjadi wajib. Artinya karena tujuan dari bergegas adalah shalat Jumat, berarti shalat Jumat juga menjadi wajib.

Beberapa syarat lain yang harus dipenuhi sebagai syarat sah dalam shalat Jumat mencakup empat hal :

  • Dilakukan secara total di waktu dzuhur.
  • Tempat pelaksanaan harus pada batas territorial sebuah pemukiman yang terdiri dari bangunan perumahan, baik berupa balad (di masa sekarang kira-kira seluas desa) atau hanya sebatas qaryah (kira-kira seluas dusun).
  • Tidak didahului maupun bersamaan dengan shalat Jumat yang lain dalam satu wilayah (balad ataupun qaryah). Hal ini selama tidak ada factor yang memperkenankan shalat Jumat di beberapa lokasi.
  • Dilakukan berjamaah oleh mereka yang berstatus penduduk tetap (mustauthin) dengan jumlah minimal 40 orang.

Para ulama madzhab menyepakati adanya jamaah sebagai syarat sah di dalam shalat Jumat. Kesepakatan ulama yang mensyaratkan 40 orang sebagai batas minimal jumlah jamaah yang mengikuti shalat. Argumentasi dari ketentuan ini adalah sebuah hadist yang menyatakan bahwa Nabi sewaktu melakukan shalat Jumat pertama kali adalah dengan jumlah jamaah yang sebanyak itu.

Berakar dari praktek Nabi dalam melakukan shalat Jumat dengan selalu berjamaah, serta lokasi yang digunakan pasti di dalam kota dan menetap pada satu masjid, muncullah beragam pemahaman, apakan hal itu harus diadopsi secara tekstual dan menyeluruh atau kisi-kisi maknawinya saja yang perlu diterjemahkan. Hal ini berdampak pada tata hukum baku, tentang diperkenankannya shalat Jumat lebih dari satu tempat. Versi yang mendasarkan pada realita di jaman Nabi, tegas mengatakan tidak boleh karena yang dilakukan Nabi bersifat dogmatif dan harus diadopsi secara total. Versi ini merupakan pendapat Madzhab Syafii yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia.

apabila khotib telah naik mimbar dan muaddzin telah mengumandangkan adzan di hari Jum’at, maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan itu dan meninggalkan semua pekerjaannya. Oleh karena itu, sudah menjadi tradisin kaum muslimin dari masa Rasulullah saw., masa khulafaur rasyidin, masa-masa khilafah Umayyah, Abbasiyyah, dan Utsmaniyyah, bahkan hingga masa di mana kaum muslimin hidup tanpa naungan khilafah seperti masa kini umat Islam senantiasa berkumpul di waktu Zhuhur setiap hari Jum’at untuk melaksanakan perintah Aaallah SWT di atas.


Pembinaan Umat Secara Sistematis

Umat Islam adalah umat yang pertama kali dibina oleh Rasulullah saw. Dengan bahan baku umat yang buta huruf (ummiyyin) ternyata menjadi umat yang pelopor dan pilihan (lihat QS. Ali Imran 110). Beliau saw. Membacakan kepada mereka Al Qur’an, mensucikan mereka dari noda-noda syirik, mengajarkan kepada mereka hukum-hukum dan petunjuk hidup dalam Al Quran dan AS Sunnah. Allah SWT berfirman:


"Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al Quran) dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata" (QS. Al Jumu’ah 2).

Bagaimana mengembalikan kejayaan umat ini setelah kemunduran dan keruntuhan negara pelindungnya (Khilafah islamiyah) pada abad lalu? Jawabannya adalah mengembalikan kehidupan umat ini agar hidup secara Islami dengan mengembalikan hukum-hukum yang diturnkan Allah SWT agar operasional dalam kehidupan dengan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah yang bertugas menerapkanya di dalam negeri dan mengembannya ke seluruh dunia.

Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan pembinaan umat yang sistematis sehingga membangkitkan umat untuk menuntut kembali kemuliaan dan kejayaannya. Umat harus disadarkan akan jati dirinya sebagai umat terbaik, pelopor, teladan bagi umat manusia lainnya. Umat harus disadarkan bahwa kini kondisi mereka justru sebaliknya, terjelek, dan terbelakang, bahkan menjadi bulan-bulanan pihak lain. Umat harus disadarkan bahwa rahasia kemunduran dan kelemahannya selama ini adalah karena mereka telah lepas dari prasyarat bagi terwujudnya umat terbaik, yakni ada something wrong pada keimanan kepada Allah SWT, keimanan kepada kitabullah, keimanan kepada syaiat Allah, dan keimanan kepada Rasulullah serta terhentinya aktivitas amar makruf nahi munkar secara menyeluruh. Umat harus disadarkan bahwa kondisi mereka yang sedemikian mundur dan terhina adalah karena secara sistem mereka hidup di dalam masyarakat yang tidak islami, sekalipun individu-individu mereka muslim. Mereka terjerat oleh berbagai pemikiran, adadt istiadat, cara hidup, dan ideologi yang tidak Islami. Dan umat harus disadarkan bahwa kondisi mereka tidak akan berubah kalau mereka tidak mau mengubahnya. Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka berusaha mengubah keadaan mereka sendiri" (QS. Ar ra’ad 11).

Oleh karena itu diperlukan para agen perubahan, berupa para pengemban dakwah yang handal, yang piawai dalam melakukan perubahan, dengan mengikuti metode perubahan yang pernah dijalankan Rasulullah saw., dengan membina umat ini kembali sebagaimana dulu Rasul membina generasi pertama umat ini, hingga peradaban Islam tegak kembali. Tentu saja itu harus dilakukan secara sistematis sehingga terwujud perubahan yang sistematis, cepat atau lambat.

Posisi Strategis Khutbah Jum’at


Khutbah Jum’at dilakukan oleh khatib Jum’at sebelum dilaksanakan sholat Jum’at. Kenapa dikatakan memiliki peranan strategis?

Pertama, saat itu seluruh kaum muslimin, khususnya laki-laki yang tidak sakit, tidak gila, dan tidak dalam keadaan bepergian, di masing-masing teritorial berkumpul di tempat-tempat sholat Jum’at. Dan mereka wajib meninggalkan pekerjaan apapun yang mereka lakukan untuk berkonsentrasi melaksanakan sholat Jum’at. Bahkan, anak-anak yang sebenarnya belum baligh pun banyak kita jumpai ikut sholat jama’ah. Forum ini adalam forum kaum muslimin paling lengkap. Tidak ada forum sepenting itu bagi kaum muslimin. Artinya, forum itu adalah kesempatan bagi para khotib untuk bertemu dengan seluruh muslim yang ada di lokasi tersebut.

Kedua, forum sholat Jum’at adalah forum tetap dan rutin yang senantiasa akan terjadi selama ada komunitas. Artinya, forum tersebut bisa dipastikan selalu siap menerima kedatangan khotib secara rutin seminggu sekali sehingga bisa diprogram untuk diarahkan pada pembinaan yang sistematis melalui khutbah dan nasihat para khotib.

Ketiga, forum tersebut dihadiri oleh jamaah yang secara psikologis siap menerima nasihat karena datang untuk niat ibadah kepada Allah SWT sehingga memiliki situasi keruhanian yang tebal. Artinya, forum dalam kondisi siap untuk patuh kepada Allah SWT dan siap menerima nasihat-nasihat yang mengarah kepada ketaqwaan dan kepatuhan kepada Allah SWT. Dengan demikian khatib bisa selalu menanamkan sikap ketaqwaan kepada jamaah agar benar-benar taqwa (haqqo tuqaatih) kepada Allah SWT pada seluruh aspek kehidupan dan seluruh peraturan Allah SWT, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlaq, math’umat, malbusat, mu’amalah, maupun uqubat.

Keempat, forum tersebut berdurasi singkat (10 menit atau paling panjang 15-20 menit), tidak ada tanya jawab, dan haram diinterupsi. Artinya, forum tersebut siap mendengarkan segala apa yang dikatakan khotib dalam nasihat-nasihatnya. Oleh karena itu, khotib harus betul-betul mengefektifkan kata-katanya (qaulan sadiida) sehingga betul-betul masuk ke dalam lubuk hati yang paling dalam. Khotib hendaknya menghindari kata-kata yang tidak perlu dan menghindari pengulangan kecuali untuk penekanan dan penguatan makna. Jangan sampai jamaah bosan, mengantuk, dan tertidur. Kata –kata singkat, padat, jelas dan disampaikan dengan suara yang tegas dan keras (nyaring) dan mimik yang serius, sehingga benar-benar ditangkap secara serius, penuh perhatian, dan sami’na waq atho’na. Suasana ritual tetap harus terjaga.

Menyusun Khutbah Jum’at Yang Aktual

Mengingat posisi strategis khutbah Jum’at bagi pembinaan umat, maka harus disusun khutbah Jum’at yang betul-betul berkesan kepada para jamaah. Khutbah yang membosankan akan membuat forum kehilangan perhatian dan hilang kesan. Isi khutbah pun akan terlupakan sebelum khotib turun dari mimbar. Oleh karena itu, perlu disusun khutbah yang secara substansi pasti akan membekas pada diri masing-masing jamaah dan secara retorik akan membuat para jamaah terkesan dan terkenang serta simpati dengan khutbah yang disampaikan.

Setahu penulis, khutbah yang akan berkesan secara substantif adalah khutbah yang aktual. Yakni, khutbah yang menyinggung peristiwa terpenting pada pekan itu dan sikap apa yang diambil oleh kaum muslimin dalam menghadapi peristiwa tersebut. Hal ini sesuai dengan metode Al Qur’an yang biasanya turun membahas peristiwa yang sedang terjadi pada diri Rasul, para sahabat, kaum kafir Quraisy, orang Yahudi, atau orang munafiq, maupun peristiwa dunia internasional pada waktu itu.

Yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan khutbah aktual adalah jangan terlalu panjang dalam pembahasan fakta atau analisisnya, sehingga kehilangan waktu untuk menyampaikan solusi Islam pada kasus tersebut dan sikap Islam pada peristiwa yang sedang terjadi. Karena tidak ada nilainya sebuah khutbah yang tidak menyampaikan suatu ayat atau hadits yang menilai keadaan fakta/aktualita yang diungkap.

Ketika menyampaikan solusi Islam usahakan mengkaitkan dengan satu dua hukum lain yang berkaitan yang menunjukkan integralitas Islam dan jamaah terbina dengan pandangan Islam yang komprehensif dan mereka harus disentuh agar rindu dengan kehidupan Islam dan tergerak untuk berjuang melanjutkan kehidupan islam (isti’naful hayatil Islamiyah).

Untuk bisa menyusun khutbah aktual, khotib harus rajin baca Al Quran dan Al Hadits serta buku-buku yang membahas sistem Islam secara utuh, misalnya buku Islam Politik dan Spiritual karya Hafizh Abdurrahman, Studi Pemikiran Islam karya Muhammad Husain Abdullah, dan buku-buku terbitan HT seperti Sistem Islam, Sistem Ekonomi Islam, Sistem Sosial Islam, Sistem Sanksi dalam Islam, Politik Ekonomi Islam, Sistem Keuangan di negara Khilafah, dll. Selain itu, para Khotib harus rajin mengikuti perkembangan ipoleksosbudhankam di negeri ini maupun dunia internasional dengan membaca Koran, mendengar radio news and talk 24 jam, nonton TV dll. Usahakan hanya memilih satu topik paling aktual pada pekan itu. Kalau seandainya ada dua topik yang sangat menarik, maka topik kedua disinggung secara singkat pada khutbah kedua.

Setelah memilih topik teraktual pada pekan itu dengan menghafal beberapa data yang penting dan sedikit analisis pakar tertentu, maka khotib harus merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah melalui buku-buku taqofah Islamiyah di atas sehingga ditemukan ide, hukum, dan pendapat islam terhadap aktualita itu. Al Qur’an dan atau As Sunnah yang hendak dikemukakan dalam khutbah hendaknya dipastikan kecocokannya dengan topik yang dibahas dan selanjutnya khotib memastikan bahwa dia dapat melafazhkan dengan fashih, lebih utama kalau dia hafal. Setelah itu khotib harus menentukan kalimat bahasa indonesia yang tepat untuk merumuskan pesan Jumat ini kepada jamaah sebagai kesimpulan khutbah.

Khatimah

Jangan tergesa-gesa menyemburkan seluruh pikiran yang khotib miliki adalah nasihat terbaik buat para khotib pemula. Kesempatan berbicara di atas mimbar Jum’at pada forum sholat Jum’at berikutnya pasti didapat selama isi khutbah dan penampilan khotib mantab dan meyakinkan. Yang harus selalu diingat, sabda nabi saw.: "Diberinya hidayah seseorang oleh Allah lantaran usaha (dakwah) anda, adalah (pahalanya) lebih baik bagi anda daripada dunia dan seluruh isinya."

Hasil penelitian para ahli sejarah menunjukkan bahwa sepanjang masa kenabian Rasulullah SAW dan kepemimpinan Khulafa' al Rasyidin, pelaksanaan ibadah Jumat tidak pernah dilaksanakan kecuali di dalam Masjid Jami (satu lokasi). Dalam perjalanan kepemimpinan mereka, tidak pernah ada statement atau perilakuk yang menyalahkan atau menyetujui gagasan Jumat lebih dari satu dalam sebuah kawasan (desa atau dusun). Dari sinilah kemudian muncul pemahaman berbeda; apakah hal ini merupakan ajaran fi'li (praktek) yang bersifat dogmatis dan harus diadopsi secara total ataukah cukup dipahami makna yang tersirat dimana saat itu keadaannya sangat kondusif).

Mayoritas ulama Syafii berpendapat bahwa hal ini bersifat dogmatis, sehingga dalam satu desa seharusnya hanya ada satu Jumat, kecuali ada alasan tertentu yang dapat diterima syariat. Alasan utama yang biasanya digunakan sebagai dasar pembolehan pendirian Jumat lebih dari satu dalam sebuah wilayah adalah mashaqqah (tingkat kesulitan tertentu). Seperti terjadinya konflik yang menimbulkan usr al ijtima' (sulitnya dikumpulkan) atau factor kesulitan yang terdapat dalam jauhnya jarak tempuh menuju masjid. Meski keduanya memiliki tingkat kesulitan yang berbeda, tetapi masih layak untuk dijadikan alasan bolehnya taadud al Jumat karena keduanya masih termasuk dalam tataran mashaqqah la tuhtamal ‘adatan (tingkat kesulitan diluar batas kemampuan). Sulitnya memperluas masjid karena lahan masjid berada diperkampungan yang padat, atau semakin banyaknya jumlah penduduk, juga disebut sebagai salah satu factor pembolehan terjadinya taadudul Jumat.

Yang menjadi permasalahan kemudian, apakah orientasi “mendidik” sebagaimana seringkali menjadi alasan penyelenggaraan shalat Jumat di sekolah itu juga termasuk unsur mashaqqah yang memperbolehkan taadud al Jumat? Mengawali pembahasan ini, ada baiknya kita menyimak nash Hamish Sharh Sulam Taufiq halaman 25-26 berikut ini:

وَمَنْ إِنْتَقَضَ وُضُوؤُهُ حَرُمَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالطَّوَافُ وَحَمْلُ المُصْحَفِ وَمَسُّهُ إِلاَّ لِلصَّبِى لِلدِّرَاسَةِ...

Orang yang batal wudlunya maka haram atasnya menjalankan shalat, thawaf, membawa al Quran/mushaf dan menyentuhnya kecuali bagi anak kecil untuk belajar.

Rasulullah pernah menulis surat kepada masyarakat Yaman yang di dalamnya terdapat pernyataan:

لاَيَمَسُّ القُرْآنَ إِلاَّطَاهِرٌ

Tidak diperkenankan menyentuh al Quran kecuali orang yang dalam keadaan suci.

Hadits ini menguatkan ayat al Quran dalam surat al Waqiah yang menyatakan:

لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ المُطَهَّرُونَ.

Ketentuan hukum tentang larangan menyentuh al Quran bagi orang yang tidak suci sangatlah jelas. Namun Imam Abdullah Ibn Husein dalam Hamish Sharh Sulam Taufiq menyatakan bahwa larangan itu dikecualikan untuk belajar. Dari sini dapat kita pahami bahwa pendidikan atau pembelajaran dapat menjadi illat/alasan hukum untuk melanggar ketentuan yang semestinya. Hanya saja kita tidak bisa tergesa-gesa menyimpulkan bahwa masalah Jumat ini bisa dijalankan dengan menggunakan analogi hukum/qiyas masalah menyentuh al Quran.

Untuk dapat menganalogi hukum, beberapa variable atau illat dari hukum asal dan masalah yang dicarikan keputusan hukum harus sama. Beberapa variable diantara dua masalah tersebut diantaranya adalah:

  • Variable dari hukum asal
    • Larangan menyentuh mushaf bagi yang tidak memiliki wudlu
    • Memegang/menyentuh mushaf bukan kewajiban yang harus dijalankan dalam tempo waktu cepat. Islam menekankan keharusan mampu membaca al Quran tanpa ada batasan waktu.
    • Pembolehan melanggar larangan menyentuh bagi anak kecil yang belajar.
  • Variabel dari masalah penyelenggaraan Jumat di sekolah
    • Larangan menyelenggarakan Jumat lebih dari satu dalam satu desa.
    • Shalat Jumat merupakan kewajiban yang harus segera ditunaikan.
    • Shalat Jumat hukumnya wajib bagi laki-laki yang sudah dewasa.

Dari beberapa variable yang sudah diurai diatas, maka kita dapat melihat apakah kita bisa menganalogkan pembolehan menyentuh al quran bagi anak kecil untuk belajar dengan pembolehan penyelenggaraan shalat Jumat disekolah untuk pembelajaran. Bila kita mencoba menggabungkan variable-variabel diatas; belajar al Quran merupakan kewajiban yang dapat dilakukan tertunda. Sedang shalat Jumat adalah kewajiban yang harus segera ditunaikan bagi lelaki yang sudah baligh.

Untuk menganalogkan kedua masalah ini, ada ketidak sesuaian dari variable yang ada, yaitu pembolehan melanggar pada masalah menyentuh mushaf hanya untuk anak kecil yang belajar. Kewajiban dapat membaca al Quran dengan baik bukan kewajiban yang harus segera ditunaikan artinya dapat berjalan pelan-pelan. Sementara itu, shalat Jumat merupakan kewajiban yang harus segera ditunaikan. Bagi mereka yang dewasa, shalat Jumat bukan lagi pada stadium belajar tetapi sudah pada tataran diwajibkan.

Melihat hubungan antar illat/variable yang tidak sesuai, maka alasan pembelajaran dalam masalah penyelenggaraan shalat Jumat di sekolah tidak dapat dibenarkan. Terlebih pembelajaran dapat dijalankan bahkan langsung bisa dijalankan di masjid. Bahkan nilai lebih pembelajaran di masjid adalah siswa dapat belajar berinteraksi dengan masyarakat.

- Keharusan Jumat dilaksanakan dan dihadiri oleh minimal 40 orang penduduk tetap.

Hampir seluruh kitab fiqh menjelaskan bahwa syarat minimal mendirikan Jumat adalah harus dihadiri oleh minimal 40 orang penduduk desa/dusun. Yang dimaksud penduduk ini, bukan orang yang kost atau menetap sementara didesa itu, atau orang diluar desa yang masuk pada desa itu.

Dalil-dalil yang memperkuat hujjah ini adalah :

Hadits Nabi Muhammad SAW

أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ فِى المَدِيْنَهِ وَلَمْ يَنْتَقِلْ أَنَّهُ جَمَعَ بِأَقَلٍّ مِنْ أَرْبَعِيْنَ

Sesungguhnya Rasulullah SAW, berjamaah (jumat) di Madinah dan tidak pernah diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah berjamaah (jumat) kurang dari 40 orang.

Keterangan sahabat Jabir RA

مَضَتْ السَّنَةٌ أَنَّ فِى كُلِّ أَرْبَعِيْنَ فَمَا فَوقَهَا جُمْعَةً

Telah lewat beberapa tahun, bahwa Jumat didirikan oleh 40 orang atau lebih.

Keterangan sahabat Ka'ab Ibn Malik

أَوَّلُ مَنْ صَلَّى بِنَا الجُمْعَةٌ فِى بَقِيْع الخَصْمَاتِ أَسْعَدْ بِنْ زَرَارَةَ وَكُنَّا أَرْبَعِيْنَ.

Orang pertama yang shalat Jumat denganku di Baqi' al khasman adalah As'ad Ibn Zararah dan kami bersama 40 orang. HR. Ibn Hibban dan Baihaqi

Kifayatul Akhyar Juz 1 halaman 148 menjelaskan 40 orang yang dapat menjadi pendukung keabsahan pendirian shalat Jumat :

وَاعْلَمْ أَنَّ شَرْطَ الأَرْبَعِيْنَ الذُّكُورَةُ وَ التَّكْلِيْفُ وَالحُرِّيَّةُ وَالإِقَامَةُ عَلَى سَبِيْلِ التَّوَطُّنِ لاَيَظْعَنُونَ شِتَاءً وَلاَصَيْفًا إِلاَّ لِحَاجَةٍ فَلاَيَنْعَقِدُ بِالإِنَاثِ وَلاَ بِالصِّبْيَانِ وَلاَبِالعَبِيْدِ وَلاَ بِالمُسَافِرِيْنَ وَلاَ بِالمُسْتَوطِنِيْنَ شِتَاءً دُونَ صَيْفِ وَعَكْسُهُ.

Ketahuilah! Adapun syarat 40 orang itu, haruslah laki-laki, sudah mukallaf/baligh, merdeka (bukan budak) bermukim dalam arti menetap, tidak berpindah pada musim dingin atau panas kecuali untuk hajat. Maka tidaklah sah shalat Jumat dengan (melengkapi jumlah 40) bersama perempuan, anak kecil, hamba sahaya, orang yang bepergian (kedaerah diselenggarakannya Jumat), juga tidak dapat (dilengkapi oleh) penduduk musiman yang berpindah pada musim tertentu…

Dari keterangan ini maka jelaslah bahwa setiap pendirian Jumat harus dihadiri oleh penduduk setempat minimal 40 orang. Pendirian Jumat yang didirikan oleh 40 orang yang berasal dari berbagai wilayah dan bukan dari wilayah dimana Jumat diselenggarakan maka Jumatnya tidak sah, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam Kifayatul Akhyar juz 2 halaman 148 :

إِذَا تَقَارَبَ قَرْيَتَانِ فِى كُلٍّ مِنْهُمَا دُوْنَ أرْبَعِيْنَ بِصِفَةِ الكَمَالِ وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَبَلَغَوا أَرْبَعِيْنَ لَمْ يَنْعَقِدُ بِهَمْ الجُمْعَةُ وَإِنْ سَمِعَتْ كُلُّ قَرْيَةٍ نِدَاءَ الأُخْرَى لأَنَّ الأَرْبَعِيْنَ غَيْرُ مُقِيْمِيْنَ فىِ مَوضِعِ الجُمْعَةِ واللهُ أَعْلَمْ.

Ketika berdekatan dua buah desa, tiap-tiap dari dua desa itu tidak ada 40 orang dengan sifat yang sempurna (yang memenuhi syarat pelengkap Jumat), seandainya mereka berkumpul, kemudian mencapai 40 orang, maka Jumat yang mereka dirikan tetap tidak sah! Meskipun tiap-tiap dari penduduk desa itu mendengar panggilan dari yang lain. Karena 40 itu dilengkapi oleh orang yang tidak bermukim dan menetap dari desa dimana Jumat itu didirikan.

KESIMPULAN

Dari beberapa paparan diatas, maka Jumat yang didirikan yang tidak melibatkan penduduk setempat sebanyak 40 orang dan jarak tempuh dengan masjid lain yang mendirikan Jumat kurang dari 1.6 km, maka Jumatnya tidak sah. Untuk jarak kurang dari 1.6 km dapat pula menjadi sah bila ada kesulitan mengumpulkan dalam satu masjid sebagaimana penjelasan diatas. Shalat Jumat dengan alasan untuk mendidik dapat dibenarkan bila Jumat tersebut karena Jumat bagi mereka belum merupakan kewajiban. Sementara untuk sebagian orang yang sudah baligh dan orang maka tidak lagi dapat menggunakan alasan mendidik karena mereka sudah memiliki kewajiban, dan tidak pada porsi belajar lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Imam Taqiyyuddin ibn Abi Bakar,

tt, Kifayatul Akhyar, Surabaya, al Hidayah, halaman 145-147.

Qomaruzzaman (pengantar),

2003, Paradigma Fiqh Masail Kontekstualisasi Hasil Bahtsul Masail, Kediri, PP. Lirboyo, halaman 59.


Tidak ada komentar: